Belanda Depok

Permisi, ini bukan tulisan narsis…

Saya adalah seorang gadis desa yang berasal dari sebuah kota kecil di Sukabumi. Saya sering mendengar kata ‘Depok’. Ketika saya masih duduk di bangku Sekolah Dasar hingga kini (usia saya 21 tahun), hampir semua teman sekolah memanggil saya ‘BelandaDepok’. Ya, saya tahu mengapa, hanya karena persoalan warna kulit saya yang putih. Dan kebetulan dulu sewaktu saya masih duduk di bangku Sekolah Menengah Pertama, saya sering pulang pergi ke Depok untuk mengunjungi para saudara di sana. Tinggal naik bus jurusan Sukabumi – Depok , satu kali.

Lalu, kenapa Belanda Depok? Sekali lagi ini bukan tulisan narsis! Kulit saya memang putih, karena sisa darah Belanda yang mengalir dari buyut saya. Itu pun hanya sisa. Dan kata ‘Belanda Depok’ pun tidak ada hubungan sama sekali dengan aktivitas saya yang sering berkunjung ke Depok.

Setelah ditelusuri lebih dalam, memang ada orang-orang yang disebut sebagai ‘Belanda Depok’. Kisah ini berawal dari Cornelis Chastelein  yang membeli tanah di Depok seluas 12,44 KM persegi (6,2% luas Kota Depok saat ini) dengan harga 700 ringgit. Kemudian Chastelein mendatangkan para pekerja (budak) dari Bali, Makassar, Nusa Tenggara Timur, Maluku, Jawa Pulau Rote, Batavia serta Filipina. Pada tanggal 28 Juni 1714 Chastelin meninggal dunia. Chastelin meninggalkan surat wasiat yang berisi pernyataan telah memerdekakan budaknya dan mewariskan tanahnya untuk mereka. Kemudian bekas budak ini membagi dirinya menjadi 12 marga. Ke-12 marga inilah yang disebut sebagai ‘Belanda Depok’ yang sampai saat ini masih ada keturunan-keturunannya di Depok.

Memang benar. Belanda Depok itu tidak hanya sebatas karena warna kulit yang putih dan seringnya berkunjung ke Depok. Sedangkan jika dilihat dari asal usul ke 12 marga yang telah diberikan identitas sebagai Belanda Depok adalah orang pribumi yang pada umumnya berkulit sawo matang. Jadi, sebenarnya asal muasal dua kata tersebut merupakan sejarah panjang yang mengawali Kota Depok berdiri hingga sekarang.

Sekarang ini saya tinggal di ujung selatan Jakarta yaitu Lenteng Agung. Kota yang berbatasan langsung dengan Depok. Hanya dengan waktu paling lama 15 menit, saya akan langsung sampai di Depok dengan menggunakan angkutan kota (angkot). Sehingga, saya lebih sering mengunjungi Depok mungkin hanya untuk sekedar mencari menu makanan.

Perbatasan provinsi ini seakan-akan menjadi bias. Bila tidak ada papan Selamat Datang di Kota Depok, saya tidak akan merasa telah melewati perbatasan provinsi. Jadi ingat teman saya yang tidak merasakan lintas provinsi di kesehariannnya. Dia berangkat dari Bojongsari, Depok melalui jalan Pondok Cabe, Tangerang Selatan untuk menuju Lenteng Agung, Jakarta Selatan.

Ageung

Tinggalkan komentar