Efek Bumerang Pembangunan Fisik di Sukabumi

Artikel ini pernah dimuat dalam sukabumitoday.com (http://www.sukabumitoday.com/2012/01/efek-bumerang-pembangunan-fisik-di.html)  pada tanggal 16 Januari 2012

 

Di sukabumi, sejak setengah dekade terakhir telah dibangun Jalan Jalur Lingkar Selatan. Saya menyebutnya ini sebagai sebuah mega-proyek, proyek besar. Tentu saja dengan alasan betapa besar uang yang dipakai untuk menuntaskan proyek tersebut, pun sebanding dengan akibat yang besar dari pembangunan jalan tersebut, jalannya pun memang sangat besar.

Dalam kehidupannya, manusia selalu terkurung oleh apa yang ada di dalam pikirannya, khususnya oleh hal-hal yang dapat diukur, kuantitatif. Pandangan terhadap pentingnya pembangunan sebuah jalan, Gang, MCK, Irigasi, dan renovasi fisik lainnya selalu tertuju pada berapa besar anggaran yang digunakan, dampak terhadap pembangunan pun harus selalu bisa diukur. Artinya, pembangunan tersebut dilakukan dengan mengacu kepada hal-hal yang bisa diukur, sudah tentu karena penjara pikiran kita telah dikuasai oleh materi, arah dan kebijakan pembangunan pun harus selalu menuntaskan segala hal yang bisa diukur oleh fisik kita, bisa dilihat oleh mata. Ketika di hadapan kita telah berdiri sebuah gedung posyandu, jalan memanjang dan lebar, maka kita akan berdecak kagum bahwa pembangunan telah berhasil.

Hanya saja, segala sesuatu, perbuatan yang kita lakukan jarang sekali menyentuh kepada kualitas-kualitas di masa depan. Misalkan, pembangunan Jalan Jalur Lingkar Selatan atau jalan-jalan yang lainnya diprediksi bisa mengurai kemacetan yang selama ini selalu menjadi pemandangan keseharian di Jalur utama Sukabumi menuju Bogor.  Kesempitan cara memandang seperti ini tentu tidak begitu holistic. Sebab, dari perencaan pembangunan baik yang melibatkan masyarakat ataupun pemerintah langsung, jarang kita mengulas dampak sosial dari pembangunan tersebut.

Pernahkan kita berpikir, ketika sebuah jalan dibangun lantas pikiran kita menyentuh masa 20 tahun ke depan, apa ada hubungannya sebuah pembangunan dengan semakin rusaknya budaya bangsa, budaya lokal? Berapa banyak sawah-sawah yang harus dikorbankan dengan mengatasnamakan pembangunan? Dan dampak sosial terbesar darinya adalah mengenai profesi, berapa banyak petani yang terkikis identitasnya karena sebuah pembangunan? Terus terang, jarang sekali masalah ini diwacanakan, juga dibahas di dalam kegiatan perencanaan pembangunan.

Untuk alasan budaya dan semakin merosotnya identitas petani bisa saja dijawab dengan sederhana. Misalkan, pasar saat ini memang telah dikuasai oleh aroma-aroma modern, akan ada peralihan profesi karena ini sebuah tuntutan dari kemajuan. Petani menjadi Buruh Tani, dan pada akhirnya bisa saja menjadi Buruh biasa. Yang menjadi sasaran kehidupan bukan menjadi apa manusia, tetapi apa yang didapat oleh manusia. Nah, sekali lagi, jelas sekali, arah pikiran kita memang selalu tertuju kepada nilai yang bisa diukur dan diuangkan. Pragmatism tidak melulu jelek. Kecuali harus sebanding dengan identitas yang kita miliki.

Apalagi terhadap dampak immanent yang harus ditanggung oleh masyarakat, sama sekali kita tidak memberi titik penekanan penting dari setiap pembangunan yang kita lakukan. Misalkan, dengan dibangunnya Jalur Lingkar Selatan di Sukabumi, seberapa besar pengaruh budaya-budaya makar yang bisa merusak budaya lokal bisa menjadi trend dan mempengaruhi kehidupan masyarakat. Nyatanya, sikap konsumtif masyarakat terhadap dibangunnya jalan tersebut semakin kentara. Di jalan tersebut telah dibangun rumah makan-rumah makan, pun ada dua Mini Market yang keberadaannya bisa menjadi bumerang penebas warung-warung kecil. Ada alasan ini merupakan bisnis murni, bisnis untuk siapa? Bukankah selama ini kita selalu mengatasnamakan pembangunan apa pun untuk dan demi Kepentingan Masyarakat?

Konsumtif terhadap bahan bakar. Maksud saya begini, setiap malam, kita akan melihat para pemuda bergerombol terutama para gang motor. Meramaikan pinggiran jalan ,ya sepanjang jalan. Berapa liter bahan bakar yang habis hanya digunakan untuk kegiatan tidak berarti ini? Berapa besar polusi yang dihasilkan satu malam karena para Gang Motor tersebut meraung-raung mesin dengan tanpa aturan. Dan celakanya, berapa berapa banyak pemuda kampung yang terhipnotis oleh adegan-adegan tersebut sampai memutuskan untuk menjadi salah satu bagian dari gang-gang motor tersebut?

Inilah pertanyaan-pertanyaan kualitatif yang jarang sekali mengemuka di dalam perencanaan-perencanaan pembangunan kita, khususnya di Sukabumi. Benar, kita bisa saja merenovasi gang, MCK, sarana Irigasi, talud, dan hal-hal fisik lainnya, namun sudah sebandingkah pembangunan-pembangunan fisik tersebut dengan pembangunan akhlaq dan tabiat manusia, generasi penerus kita. Saya khawatir -walaupun tidak terlalu berlebihan- di masa depan nanti, ketika pembangunan fisik ini tidak berimbang dengan pembangunan akhlaq, anak cucu kita hanya akan melihat jalan-jalan berlobang, tergenang air, tempat sampah yang menumpuk dengan sampah tanpa tertata, bangunan-bangunan tinggi yang ditulisi oleh coretan-coretan, banjir, dan lebih celakan lagi, ternyata anak cucu kita lah yang menjadi bagian dari terciptanya kreasi perumitan lingkungan ini. Mari kita berpikir, karena tidak sebandingnya pembangunan fisik dengan pembangunan akhlak ini, untuk level Nasional kita dikejutkan dengan kasus renovasi Ruang Banggar DPR dengan biaya sampai 20 Milyar, juga Renovasi Toilet dengan Biaya sampai 2 Milyar.

Ke depan, dan ini menjadi tugas kita secara keseluruhan, pembangunan harus direncanakan secara holistic, tidak sekedar mengejar prestise dan apa-apa yang hanya bisa diukur oleh panca indera kita.

Kang Warsa

Tinggalkan komentar