Jeda Sebelum Janji

Ruangan itu penuh oleh ibu-ibu. Yang seorang, mengenakan cadar, menjajakan dagangannya: selendang-selendang bermotif warna-warni. Delapan orang ibu mengerumunginya sedangkan ibu-ibu lainnya asik dengan obrolan mereka masing-masing, obrolan terfenomenal se-Parungkuda kala itu.

Jam dinding sudah menunjukkan pukul 11.20 WIB. Waktu pertemuan yang disepakati sudah lewat lima menit dan petugas belum juga datang.

“Di luar hujan, mungkin mereka sedang berteduh,” ucap salah satu ibu.

Hari itu adalah Hari Rabu. Hari bagi mereka untuk harus mengucapkan “janji kebersamaan” antartetangga. Janji yang harus mereka ulang di setiap Hari Rabu. Janji yang sudah ada di luar kepala. Sudah bosan rasanya harus mengulang janji itu terus. Sudah merasa terkekang akan semua janji itu. Di setiap Hari Rabu, mereka harus menyisihkan waktu untuk berjanji. Meninggalkan pekerjaan rumah dan menitipkan anak-anaknya ke orang lain, barang satu atau dua jam. Mereka harus melakukannya demi sebuah “upacara berjanji”.

“Bu, yang ini berapa?” tanya seorang Ibu Tukang Pijit, menyodorkan selendang berwarna ungu dan hitam kepada Ibu Bercadar.

“Dua limaan, Bu!” jawabnya.

Si Ibu Tukang Pijit kembali tenggelam pada selendang-selendang itu sambil sesekali bertanya tentang harga-harga yang lainnya.

“Dua minggu, kan, Bu?” tanyanya kembali.

“Iya, dua kali bayar! Rabu depan dan Rabu depannya lagi.”

Kesepakatan sudah terjalin. Si Ibu Tukang Pijit mengambil selendang pilihannya yang pertama.

Ibu-ibu yang lain sedang asik mendebatkan soal Bantuan Langsung Sementara Masyarakat (BLSM). Ibu Bawel adalah satu-satunya orang yang mendapatkan dana itu di kampung mereka. Padahal, Ibu Bawel ini memiliki warung di Cisaat. Dia rela berangkat subuh-subuh dari Cisaat menuju Kantor Kecamatan Parungkuda untuk mengambil haknya. Biasanya, dia pulang ke rumah hanya seminggu sekali untuk sebuah janji.

Ada satu orang ibu yang tidak terikat dengan janji kebersamaan. Dia ada di ruangan itu hanya karena itu rumah kakak kandungnya, si Ibu Bawel. Untuk sekedar melepas rindu satu sama lain karena sudah seminggu tidak bertemu, ia pun ikut nimbrung dengan Ibu Bawel dan empat ibu lainnya. Turut pula memperbincangkan ketidakadilan BLSM. Dia protes, pembagian BLSM tersebut tidak adil.

“Di RT kita, kan masih banyak sekali ibu-ibu yang sudah renta, seperti Emak Nonok, Emak Titin dan Emak Mainah. Kenapa di sini cuma kamu yang dapat?” katanya, menunjuk kepada kakaknya.

“Ya…, saya tidak tahu. Saya pun dapatnya bukan dari RT kita ini. RT sebelah yang memilih saya. Karena RT kita tidak pernah tergerak hatinya untuk masalah seperti ini. Dia sibuk dengan sawah-sawahnya,” jawab si Ibu Bawel, tak mau tahu.

“Lalu, apa tugasnya dia sebagai RT? Kita ganti saja RT-nya!” usul ibu lainnya. Mereka pun terus mengusulkan beberapa nama untuk menggantikan RT yang saat itu sedang menjabat. Nama-nama bermunculan dibarengi kriteria dan keahlian masing-masing. Suami dari Ibu Bercadar-lah yang sering mereka sebut namanya.

Adik dari Ibu Bawel kembali mengeluarkan suaranya, “Mau saya dapat atau tidak BLSM itu, saya benar-benar tidak setuju uang dibagi-bagikan seperti itu. Mending kalau tepat sasaran. Ini, saya lihat di televisi, yang pakai emas dan bersepeda motor, ikut mengantri. Malah, di televisi itu, yang difilemkannya leher berkalung, tangan bergelang, telinga beranting, jari bercincin dan parkiran sepeda motor yang penuh. Bukankah lebih baik uang itu justru dimasukkan untuk dana pendidikan dan kesehatan?”

Ibu-ibu yang lain mengangguk-angguk, tanda setuju.

“Seperti misalnya kamu, lihat kalungmu itu, cukup besar, bukan!? Dan statusmu bukan lagi seorang janda, bukan?” sekali lagi si adik menunjuk-nunjuk kakaknya sendiri. “Kekesalan ini ada bukan karena saya tidak terpilih mendapatkan dana itu. Bukan sama sekali. Saya merasa keluarga kami cukup mampu meskipun suami saya hanyalah seorang satpam di sebuah hotel. Dan saya bisa menutupi kekurangan suami dengan berjualan kue meskipun pesanannya tidak ada di setiap minggunya. Saya meresa itu lebih dari cukup. Tapi yang saya khawatirkan adalah ibu-ibu seperti Emak Nonok, Emak Titin, Emak Mainah dan Emak-emak lainnya di kampung ini. Seperti kemarin, saya lihat di berita, seorang nenek mengantri dari pagi hingga sore dan ternyata dia tidak termasuk ke dalam orang-orang yang berhak mendapatkan dana itu.”

Ibu yang lain menyela, “Bukankah presiden kita yang baru ini akan mengubah semua kucuran dana itu ke dana pendidikan dan kesehatan?”

“Iya, tapi tetap saja, kalau dengan data yang ada sekarang ini! Semuanya tidak akan berubah. Untuk berubah pun, membutuhkan proses. Tapi kapan?!” keluh dari adik Ibu Bawel. Semua yang lain menanggapi dengan diam.

Si Ibu Tukang Pijit menghampiri mereka, lalu berkata, “Seharusnya saya dapat, tuh!” dan disambut tawa terkekeh-kekeh oleh ibu-ibu di ruangan itu. Mereka kembali diam karena petugas yang ditunggu-tunggu akhirnya datang juga.

Mereka berbaris rapi, seperti anak sekolah yang akan melaksanakan apel pagi. Mereka lalu mengucapkan janji dengan lantang secara bersamaan: “Janji mitra usaha, hadir tepat waktu, setoran setiap minggu, usaha disetujui teman, hasil usaha untuk keluarga, bertanggungjawab bersama dan mau nalangin teman yang macet.”

Parungkuda, 14 Desember, 2014
Dian Ageung Komala

Tinggalkan komentar