bingkai dan layar, serta tiga dunia

Ageung, beberapa hari yang lalu, aku menyunting tulisan seorang kawan yang tinggal di Jakarta. Kamu tahu orangnya: pengamat filem, suka membaca buku, tetapi artikulasinya sering kali sulit dipahami. Bukan…! Kawan yang aku ceritakan itu bukan si aki-aki jahil—aku dan kamu juga tahu aki yang mana yang kumaksud—yang suka menyasarkan orang dengan petuah-petuah memukaunya. Tentu kamu tidak lupa dengan ruangan di atas perpustakaan, tempat kawan kita itu menghabiskan sebagian besar hari-harinya, membaca buku. Dan kamu juga tahu pasti, jika sudah mabuk, kawan kita ini bisa ngelantur sepanjang malam. Kamar itu kini sudah tidak ditempati oleh kawan kita. Dia sekarang pulang-pergi rumah-kantor, karena kantor tempat kami bekerja sudah berpindah tempat, sekitar lima belas menit jaraknya menggunakan angkot dari tempat yang dulu.

Berikut ini, kamu akan membaca tulisanku yang agak membingungkan. Akan tetapi, bacalah sesuai yang kamu pahami saja. Anggap saja ini adalah salah satu bentuk permainan komunikasi yang lain antara aku dan kamu.

Aku sejak dulu—walau memahami tulisannya sering membuatku kesal—mengagumi sudut pandang kawan kita itu dalam menilai karya filem. Terutama rujukan-rujukan yang digunakannya untuk menulis artikel kritik—ketahuilah, aku sering garuk-garuk kepala saat menyunting tulisannya dan harus memastikan nama penulis, judul buku, tahun, kota dan nama penerbit dari sumber yang dia kutip supaya cara penulisan sumber rujukannya menjadi baik—semuanya sangat menginspirasi. Aku belum punya kemampuan dan waktu seperti yang dia miliki untuk membaca buku-buku itu. Dalam tulisan-tulisannya, kawan kita ini piawai mengutip sebaris atau dua baris kalimat, atau mungkin separagraf, dari bahan yang dibacanya, lalu meletakkannya sebagai kuncian untuk memaparkan lebih jauh sudut penilaiannya. Aku tidak tahu, apakah pemandangan di dalam kamarnya di rumah, sekarang ini, sama seperti dengan kamar di atas perpustakaan kita yang dulu? Banyak buku-buku yang terbuka dan terlipat beberapa halamannya, dan beraroma tubuh laki-laki yang jarang mandi?

Pada tulisannya yang aku sunting beberapa hari lalu itu, dia mengutip pernyataan Bazin, yakni tentang perbedaan antara garis pinggir pada bingkai (atau frame) dan garis pinggir pada layar sinema (yang dihadapi penonton di dalam ruang gelap). Menurut teoretikus yang dikutip kawan kita ini, garis pinggir layar bukanlah bingkai dari citra filem (film image). Sebab, bingkai memiliki daya gaya sentripetal, sedangkan layar [sinema] memiliki daya gaya sentrifugal. Aku yakin kamu pasti tidak ingat dua gaya yang dimaksud Bazin itu. Hahaha! Aku juga tidak mengerti banyak tentang hal itu. Setelah kucari lebih jauh keterangan mengenai ini—dan karenanya aku menjadi ingat—dua istilah gaya itu ternyata merujuk pada ilmu fisika.

Menurut salah satu teori yang berhubungan dengan “gerak”, dua gaya itulah yang membuat benda bisa bergerak melingkar. Gaya sentripetal adalah gaya yang tarikannya menuju pusat lingkaran. Jika kita membayangkan sebuah lingkaran, benda yang bergerak pada orbit (atau garis tepi lingkaran itu) sesungguhnya mengalami tarikan menuju ke pusat. Wikipedia menyebut salah satu contoh dari gaya ini adalah gaya gravitasi. Sementara itu, gaya sentrifugal adalah lawannya, yakni gaya semu yang tarikannya menjauhi pusat lingkaran. Contohnya, jika kita menaiki wahana ontang-anting di Dufan, kita merasa seakan terlempar (dengan kata lain, kita merasakan adanya gaya yang seolah-olah menjauhi titik pusat dari ontang-anting itu). Gaya sentripetal yang mengarah ke dalam, dan gaya sentrifugal yang mengarah ke luar, dalam suatu gerak melingkar ini, membuat benda bergerak menjadi stabil.

Kita tidak usah berpanjang-panjang cerita soal dua gaya dalam ilmu fisika itu. Intinya, analogi yang digunakan Bazin itu menunjukkan perbedaan sifat dasar antara bingkai dan layar. Kawan kita, dalam tulisannya, menyebutkan bahwa yang dimaksud bingkai (frame) oleh Bazin itu, contohnya adalah lukisan yang terpajang di dinding—foto yang terpajang di dinding, mungkin, bisa menjadi contohnya juga.

Menurut pemahamanku saat ini—bisa jadi masih keliru, dan semoga nantinya aku bisa lebih mengerti lagi—gaya sentripetal atau “arah ke dalam” pada lukisan berarti bahwa “tegangan” visualnya ada di dalam bingkainya. Sementara itu, gaya sentrifugal atau “arah ke luar” pada layar berarti bahwa “tegangan” visualnya memiliki hubungan dengan dunia riil yang ada di semesta yang kita tempati ini. Mengapa demikian? Menurutku, ini mungkin berhubungan dengan jenis medium, sikap (attitude), dan proses berkarya, serta bentuk/cara penyajian karya yang dipilih si seniman (antara pelukis dan sutradara) dalam menciptakan “dunia representasi”. Sederhananya, medium dari citra bergerak (moving image) adalah kamera (filem), sedangkan lukisan adalah kanvas, kuas dan cat. Pelukis membuat “dunia representasi” (jika kamu bingung dengan istilah ini, cukup dipahami saja, bahwa “dunia representasi” adalah “dunia imajinasi” yang kita terima karena melihat visual pada lukisan atau layar sinema) melalui tangannya dengan cara melukis. Pelukis menuangkan tafsirannya secara baru di atas kanvas. Sementara itu, kameraman membuat “dunia representasi” melalui tangkapan kamera (ada aksi “jepret” dan “proses merekam”). Sementara pelukis “menuangkan” imajinasinya ke dalam sebuah bingkai lantas meletakkan (memajang)-nya di dinding, kameraman justru seakan “memotong” sebagian dunia riil kita dan memerangkapnya ke dalam bingkai lensa kamera, lalu diproses dalam editing, dan diproyeksikan ke layar tontonan (layar sinema). Dengan kata lain, visual yang kita lihat di layar sinema adalah “bagian” dari dunia riil kita meskipun ia sudah menjadi “dunia representasi” yang berbeda. Dalam pemahamanku ini, pelukis, sepertinya, tidak “memotong” dunia riil kita, tetapi “menciptakan” (mungkin, istilah Bahasa Inggrisnya adalah “to invent”). Sedangkan kameraman, dia “menangkap” sebagian dunia riil kita menggunakan kamera (dan mungkin istilah Bahasa Inggrisnya adalah “to capture”). Pada aksi yang dilakukan oleh kameraman, ada juga sisi “mencipta” (“to invent”)-nya, tetapi mungkin lebih berupa ide dan perspektif.

Pada fotografi, kita tahu bahwa seorang fotografer juga melakukan aksi “jepret”. Fotografer juga “memotong” sebagian dunia riil, seperti halnya yang dilakukan oleh pembuat filem. Akan tetapi, dalam tahap penyajiannya, foto tidak ditampilkan melalui layar, melainkan tetap sebagai bingkai citra (frame of image). Dengan kata lain, persoalan antara bingkai dan layar ini, pokok perbedaannya memang sangat terasa jelas dalam hal bagaimana sebuah karya visual itu disajikan ke hadapan orang-orang. Agaknya, dalam hal ini, sebelumnya kita perlu sedikit menekankan perbedaan antara citra (image) dan gambar (picture) meskipun orang-orang sering menganggapnya sama. Menurutku, proses penciptaan image oleh kamera adalah proses optikal (maksudku, perangkat optik; ada lensa) yang bergantung pada kontribusi cahaya. Aktivitas menggambar untuk membuat gambar (seperti menggores kertas, menyapu kuas di kanvas, mencukil kayu, memahat batu) tidak bergantung pada kontribusi cahaya. Sebab, kamera pada dasarnya bekerja dengan menangkap cahaya (atau, membekukan cahaya). Fotografi dan filem menjadi berbeda dalam hal penyajiannya, karena filem tetap bergantung pada kontribusi cahaya saat hendak ditampilkan, yakni proyeksi ke layar. Sementara itu, fotografi tidak begitu. Image foto tampil di dalam bingkai (bukan melalui proyeksi).

Itu perbedaan antara bingkai dan layar.

Ageung, sepertinya perbincangan kita menjadi sedikit lebih rumit. Kamu tahu, bahwa sekarang ini si layar tidak hanya milik sinema? Ia juga telah menjadi milik TV (video), dan sejak penemuan teknologi digital, ia juga menjadi milik komputer dan ponsel pintar. Ada jenis-jenis medium selain filem sekarang ini yang memungkinkan ditampilkannya visual tanpa proyeksi. Begitu pula yang dialami si bingkai. Saat ini ia tak hanya dipajang di dinding, tapi juga di “dinding-dinding” dunia virtual di mana seluruh massa pengguna internet saling terhubung. Menyinggung tahap proses penciptaannya, perbedaan antara citra (image) dan gambar (picture) pun menjadi semakin kabur. Teknologi digital telah memungkinkan orang untuk membuat visual tanpa bergantung pada cahaya. Buktinya, kamu bisa membuat gambar-gambar vector melalui komputer. Lantas, semua visual yang ada sekarang ini, seolah-olah berbondong-bondong melebur ke dalam layar—layar perangkat komputer. Si bingkai, pada akhirnya, telah ditelan si layar dan keduanya menjadi dua sisi sekeping mata uang logam.

Aku rasa, perkembangan teknologi yang memunculkan banyak jenis medium baru tersebut, telah membuat teori gaya “sentripetal-sentrifugal” harus dipahami lebih kontekstual. Terkait fenomena media sosial, misalnya, instagram adalah arena pajang-memajang yang bukan hanya mengganti dinding dunia riil dengan “dinding” dunia virtual, tetapi juga arena di mana bingkai dan layar telah bergabung menjadi satu ruang penyajian yang sama. Selain itu, teknologi internet yang melekat pada instagram juga membuat citra (image) dan gambar (picture)—atau singkatnya, visual—yang kita lihat itu sebagai entitas yang padanya “dunia representasi” dan “dunia virtual” saling berhimpit, dan bahkan seakan sulit untuk dibedakan.

Demikianlah, kutipan Bazin yang ada di dalam tulisan kawan kita itu, dalam beberapa hari ini membuatku gusar, dan sekali lagi mendorongku untuk memikirkan apakah pemahaman kita selama ini tentang medium itu sudah tepat atau belum sama sekali? Aku bukan sedang ingin mengajakmu turut gusar, tetapi ingin memberitahumu bahwa saat bermain instagram, aku, kamu, dan orang-orang lain, sesungguhnya sedang berinteraksi dengan dua hal, yakni bingkai dan layar, serta dengan tiga dunia, yakni dunia riil, dunia representasi, dan dunia virtual.

Betapa menakjubkannya, dan betapa serunya bermain media sosial (terutama instagram ini). Dengannya, berbagai tempat dan penglihatan (vision) orang-orang seakan sedang terhubung. Melalui instagrammu, aku yang sedang berada di Jakarta, dapat melihat Parungkuda secara berbeda dibandingkan saat aku benar-benar berada di sana. Tapi, sementara ini kamu tidak bisa melihat Jakarta dengan pengalaman yang sama melalui instagramku, karena akun tooftolenk belum memajang satu pun karya visual di dinding virtualnya. Hahaha! Hari ini, aku tertarik dengan karya-karya instagrammu yang “memotong” sebagian dunia yang ada di dalam rumahmu. Menarik!

Jakarta, 28 Juli, 2015
Manshur Zikri (tulisan)
Dian Komala (foto)

Ibu Bawel

“Sakitnya tuh di sini, di dalam hati…” penggalan lagu dangdut terdengar dari telepon genggamnya, tanda panggilan dari seseorang. Si pemilik telepon mendiamkannya saja. Sudah lima panggilan, sengaja tak dijawab olehnya. Dering telepon membuatnya teringat akan hutang piutang di kampungnya. Si penelepon adalah seorang rentenir terkenal di kampung itu.

Warung nasi yang sedang ia kelola dibangun dari modal pinjaman. Rentenir itu adalah salah satu penolongnya pada waktu memulai usaha. Penolong dengan rangkaian bunga yang semakin menggunung. Belum lagi hutang-hutang yang lalu. Hmm…! Semuanya harus dilunasi segera dengan hasil jualan ini. Sebagian hutangnya ia emban sendiri, tak tega membebani anak-anaknya.

“Bu, makan! Pakai kentang dan ayam goreng, ya! Jangan lupa sambalnya!”

Lamunannya tersentak. Bergegas dia mengambil piring dan menuangkan satu per satu pesanan pembelinya.

“Eh, si Aa! Sehat, A?” tanyanya kepada langgananya.

“Alhamdulillah, sehat, Bu. Makin ramai, ya, warungnya?” jawab pelanggan itu sambil mengunyah makanannya.

“Kemana aja, A? Sudah lama tidak kelihatan. Kemarin, Ibu lihat temannya itu, si Damar.”

“Saya kemarin niatnya mau pulang kampung, eh di sana saya sakit. Baru seminggu yang lalu saya sehat. Makanya saya ke sini. Mau jual motor, hahaha! Butuh dana untuk biaya berobat kemarin,” keluh si pelanggan.

“Motor apa emangnya? Berapa maunya? Surat-suratnya lengkap?” tanyanya. Ada juga orang yang bisa diajak berbincang hari itu.

Beat, Bu. Lengkap, kok! Maunya, sih tiga juta. Ibu mau?” si pelanggan menjadi lebih bersemangat.

“Dua setengah, deh? Anak saya lagi merengek ingin motor.”

“Saya kabarin nanti, ya, Bu. Soalnya saya lagi perlu uangnya segitu.”

“Ya, udah! Kabarin ya, A!”

Si Ibu masuk ke dalam ruangan sempit di dalam warungnya. Di sana ada tempat tidur, kipas angin dan televisi. Berjalan menuju tas yang menggantung di dinding. Dibukanya tas itu. Tiga gepok uang berjumlah tiga juta tersimpan rapi di sana. Pada awalnya, uang itu akan ia gunakan untuk membayar cicilan kepada si penelepon tadi. Tapi niatnya tergoyang. Pikirannya mengawang membayangkan anak bungsunya berseragam sekolah mengendarai motor. Dilema.

Dia kembali ke warungnya menemui si pelanggan tadi. “Cepet kabarin, ya, A!” pintanya.

“Iya, Bu. Berapa semuanya?”

Setelah membayar, si pelanggan pergi meninggalkan warung, entah kemana. Si Ibu masih dalam dilema. Diraihnya telepon genggam mencari nomor kontak telepon. Ia akhirnya menelepon si penelepon yang sedari tadi tak kunjung ia jawab. Setelah berbasa-basi singkat, ia pun mengutarakan niatnya.

“Gini, Tante…, saya belum ada uang untuk bayar bulan ini. Bulan depan, ya, Bu, sekaligus bunganya!”

Di dalam percakapan melalui telepon itu, terjadi perdebatan yang cukup lama. Si Tante menyebutkan resiko-resiko yang harus ditanggung si Ibu. Bunga sebesar dua puluh persen dari sepuluh juta yang si Ibu pinjam. Bunga itu harus selalu ia bayar setiap bulannya, bila sepuluh juta itu belum ia lunasi.

“Iya, Bu! Di perjanjian awalnya begitu, saya mengerti. Itulah resiko yang harus saya bayar. Uang yang saya kumpulkan untuk membayar bunganya terpakai untuk biaya rumah sakit anak saya. Saya benar-benar minta maaf. Lagi pula, ini baru bulan kedua, bukan? Saya janji bulan depan pasti saya bayar bunga dan cicilan sepuluh jutanya.”

Si Tante tidak bisa berbuat apa-apa.

***

Hari ini adalah Hari Rabu. Sudah menjadi tugasnya untuk hadir setiap Hari Rabu. Bertemu dengan anak-anaknya dan ibu-ibu “grup berjanji”-nya. Hari ini, senyumnya merekah. Orang-orang di rumahnya pasti akan terkejut dengan kedatangannya, pikirnya. Ditemani dengan seorang kawan, ia mengendarai sepeda motor yang baru dibelinya. Anak-anaknya tersenyum ketika melihatnya turun dari  motor itu. Terutama si Bungsu, yang tersenyum lebih lebar dari yang lainnya.

Parungkuda, 23 Desember, 2014
Dian Ageung Komala

Ibu Tukang Pijit

Ilustrasi-ibu-tukang-pijit_Dariwarga_17-12-2014-Dian-Komala

Hari yang cerah di tengah-tengah seringnya hujan turun beberapa bulan ini. Matahari terang benderang membuat butir-butir keringat terjun langsung dari pipi ke lehernya. Terkantuk-kantuk, di tangannya masih ada jarum dan sehelai kain. Menyulam adalah pekerjaan hariannya. Berbagai macam sulaman ia kerjakan. Bahan sulaman ini datang dari sebuah agen pabrik garmen. Untuk satu helai kain, tak tentu harganya, tergantung dari kemudahan dan waktu pengerjaan. Sulaman yang sedang ia kerjakan bernilai tujuh ratus lima puluh rupiah per helai. Lama waktu pengerjaannya sekitar dua puluh menit. Ya, apalah daya!? Hanya itu yang bisa ia kerjakan sembari menunggu panggilan memijit dari orang lain.

Dulu, ia adalah seorang dukun beranak. Tapi sekarang, dukun beranak sudah tidak boleh beroperasi di wilayah Parungkuda. Meskipun begitu, ada satu-dua orang yang masih memakai jasanya untuk melahirkan. Ilegal? Sepertinya tidak. Dulu pun, sebelum ada dokter kandungan dan bidan, dukun beranak adalah satu-satunya pilihan. Sampai saat ini, dia tidak pernah gagal dalam melaksanakan tugasnya sebagai dukun beranak. Namun, tak semua orang mengandalkannya, yang lain lebih memilih puskesmas dekat rumah yang memiliki fasilitas dua puluh empat jam untuk melahirkan. Jadi, menyulamlah satu-satunya pilihan, sembari menunggu panggilan memijit. Banyak orang di kampung Parungkuda menjadi langganan pijitannya. Tapi tentu saja tidak setiap hari panggilan itu datang.

Rokok kreteknya sudah hampir habis dimakan bara, matanya masih saja terpejam.

“Assalamualaikum…!” sapa seseorang di depan pintu rumahnya.

“Tak ada uang hari ini. Doakan hari ini gajian sulam keluar!” jawabnya tersentak, kaget karena sapaan seorang tukang kredit baju.

“Beneran, ya, Mak! Soalnya kemarin pun tidak bayar,” si Tukang Kredit pergi menjauh ke rumah yang lain, yang merupakan pelanggan baju kredit juga.

Matanya kembali menuju jarum dan kain yang masih ada di tangannya. “Sudah ashar, baru dapat lima belas?!” keluhnya.

Dengan cekatan, dia memasukan manik-manik berbentuk piring kecil dan memasangkannya ke kain, tepat seperti permintaan agen. Di luar, terlihat sesosok pria yang sangat ia kenal. Suaminya baru pulang dari rombongan pariwisata ibu-ibu ziarah. “Lumayan untuk bayar nanti sore,” gumamnya.

Suaminya seorang kondektur bus pariwisata. Bayaran dari pekerjaan ini pun tidak dapat memenuhi kebutuhan sehari-hari keluarga mereka. Bayarannya lumayan, tetapi panggilan pariwisata itu juga tak datang di setiap minggu. Kadang, bisa sampai sebulan lamanya, panggilan ibu-ibu untuk berlibur berziarah ke makam-makam wali di luar kota tak kunjung datang. Mereka masih punya tanggung jawab agar si bungsu dapat lulus sekolah menengah kejuruan: harapan terakhir untuk memperbaiki perekenomian keluarga.

“Assalamualaikum, Mak!” sosok pria paruh baya berjaket kulit dan buku di tangan datang.

“Sebentar, ya, Aa!” jawabnya sambil berjalan menuju kamar, tempat suaminya berada. Tak lama, dia kembali menuju pria itu dengan lembaran-lembaran uang di tangan. “Nih, A!”

Pria itu menerima uang sebesar tiga puluh lima ribu rupiah. Mencatat di buku dan menyobek kertas bernomor tiga belas. Kertas sobekan itu dia berikan kepada si Ibu.

“Wih, sudah tiga belas! Bisa dibarukan dong?! Butuh untuk bayar anak sekolah, nih, A! Lima ratus saja, bisa?” tanya si Ibu

“Saya tanya sama si Bos dulu, ya, Mak! Soalnya, Mak, sempat bolong-bolong angsurannya,” jawab si pria.

“Oke, deh…! Tapi diusahakan, ya…!”

“Saya permisi dulu. Assalamualaikum!”

“Waalaikum salam!”

Si pria itu pergi dengan sepeda motornya. Si Ibu lalu bergegas menuju dapur, membuat secangkir kopi hitam untuk sang suami. Beberapa menit kemudian, ia kembali tenggelam dalam sulamannya.

Sekarang panas terik sudah tertutup awan-awan mendung. Ia harus segera menyetorkan sulaman ini, sebelum hujan turun. Melipat satu per satu kain yang telah selesai disulam; dua puluh helai kain telah selesai ia kerjaan. “Tak apa hari ini cuma dapat dua puluh…,” ujarnya pada diri sendiri.

Kemudian ia memasukkan kain-kain itu ke dalam kantong plastik besar berwarna merah. Menggendongnya di punggung, dan berjalanlah ia sambil bersenandung lagu dangdut dari penyanyi kondang Rita Sugiarto, “Cantik memang aku akui. Usia muda pun ia miliki……….. Baju baru kau sayang-sayang. Kain lapuk kau buang-buang…..!

Harapan satu-satunya ketika ia kembali dari mengantar sulaman adalah uang upahnya yang dapat ia bawa esok hari untuk membayar janji yang telah ia sepakati bersama ibu-ibu tetangganya.

Parungkuda, 16 Desember, 2014
Dian Ageung Komala

Jeda Sebelum Janji

Ruangan itu penuh oleh ibu-ibu. Yang seorang, mengenakan cadar, menjajakan dagangannya: selendang-selendang bermotif warna-warni. Delapan orang ibu mengerumunginya sedangkan ibu-ibu lainnya asik dengan obrolan mereka masing-masing, obrolan terfenomenal se-Parungkuda kala itu.

Jam dinding sudah menunjukkan pukul 11.20 WIB. Waktu pertemuan yang disepakati sudah lewat lima menit dan petugas belum juga datang.

“Di luar hujan, mungkin mereka sedang berteduh,” ucap salah satu ibu.

Hari itu adalah Hari Rabu. Hari bagi mereka untuk harus mengucapkan “janji kebersamaan” antartetangga. Janji yang harus mereka ulang di setiap Hari Rabu. Janji yang sudah ada di luar kepala. Sudah bosan rasanya harus mengulang janji itu terus. Sudah merasa terkekang akan semua janji itu. Di setiap Hari Rabu, mereka harus menyisihkan waktu untuk berjanji. Meninggalkan pekerjaan rumah dan menitipkan anak-anaknya ke orang lain, barang satu atau dua jam. Mereka harus melakukannya demi sebuah “upacara berjanji”.

“Bu, yang ini berapa?” tanya seorang Ibu Tukang Pijit, menyodorkan selendang berwarna ungu dan hitam kepada Ibu Bercadar.

“Dua limaan, Bu!” jawabnya.

Si Ibu Tukang Pijit kembali tenggelam pada selendang-selendang itu sambil sesekali bertanya tentang harga-harga yang lainnya.

“Dua minggu, kan, Bu?” tanyanya kembali.

“Iya, dua kali bayar! Rabu depan dan Rabu depannya lagi.”

Kesepakatan sudah terjalin. Si Ibu Tukang Pijit mengambil selendang pilihannya yang pertama.

Ibu-ibu yang lain sedang asik mendebatkan soal Bantuan Langsung Sementara Masyarakat (BLSM). Ibu Bawel adalah satu-satunya orang yang mendapatkan dana itu di kampung mereka. Padahal, Ibu Bawel ini memiliki warung di Cisaat. Dia rela berangkat subuh-subuh dari Cisaat menuju Kantor Kecamatan Parungkuda untuk mengambil haknya. Biasanya, dia pulang ke rumah hanya seminggu sekali untuk sebuah janji.

Ada satu orang ibu yang tidak terikat dengan janji kebersamaan. Dia ada di ruangan itu hanya karena itu rumah kakak kandungnya, si Ibu Bawel. Untuk sekedar melepas rindu satu sama lain karena sudah seminggu tidak bertemu, ia pun ikut nimbrung dengan Ibu Bawel dan empat ibu lainnya. Turut pula memperbincangkan ketidakadilan BLSM. Dia protes, pembagian BLSM tersebut tidak adil.

“Di RT kita, kan masih banyak sekali ibu-ibu yang sudah renta, seperti Emak Nonok, Emak Titin dan Emak Mainah. Kenapa di sini cuma kamu yang dapat?” katanya, menunjuk kepada kakaknya.

“Ya…, saya tidak tahu. Saya pun dapatnya bukan dari RT kita ini. RT sebelah yang memilih saya. Karena RT kita tidak pernah tergerak hatinya untuk masalah seperti ini. Dia sibuk dengan sawah-sawahnya,” jawab si Ibu Bawel, tak mau tahu.

“Lalu, apa tugasnya dia sebagai RT? Kita ganti saja RT-nya!” usul ibu lainnya. Mereka pun terus mengusulkan beberapa nama untuk menggantikan RT yang saat itu sedang menjabat. Nama-nama bermunculan dibarengi kriteria dan keahlian masing-masing. Suami dari Ibu Bercadar-lah yang sering mereka sebut namanya.

Adik dari Ibu Bawel kembali mengeluarkan suaranya, “Mau saya dapat atau tidak BLSM itu, saya benar-benar tidak setuju uang dibagi-bagikan seperti itu. Mending kalau tepat sasaran. Ini, saya lihat di televisi, yang pakai emas dan bersepeda motor, ikut mengantri. Malah, di televisi itu, yang difilemkannya leher berkalung, tangan bergelang, telinga beranting, jari bercincin dan parkiran sepeda motor yang penuh. Bukankah lebih baik uang itu justru dimasukkan untuk dana pendidikan dan kesehatan?”

Ibu-ibu yang lain mengangguk-angguk, tanda setuju.

“Seperti misalnya kamu, lihat kalungmu itu, cukup besar, bukan!? Dan statusmu bukan lagi seorang janda, bukan?” sekali lagi si adik menunjuk-nunjuk kakaknya sendiri. “Kekesalan ini ada bukan karena saya tidak terpilih mendapatkan dana itu. Bukan sama sekali. Saya merasa keluarga kami cukup mampu meskipun suami saya hanyalah seorang satpam di sebuah hotel. Dan saya bisa menutupi kekurangan suami dengan berjualan kue meskipun pesanannya tidak ada di setiap minggunya. Saya meresa itu lebih dari cukup. Tapi yang saya khawatirkan adalah ibu-ibu seperti Emak Nonok, Emak Titin, Emak Mainah dan Emak-emak lainnya di kampung ini. Seperti kemarin, saya lihat di berita, seorang nenek mengantri dari pagi hingga sore dan ternyata dia tidak termasuk ke dalam orang-orang yang berhak mendapatkan dana itu.”

Ibu yang lain menyela, “Bukankah presiden kita yang baru ini akan mengubah semua kucuran dana itu ke dana pendidikan dan kesehatan?”

“Iya, tapi tetap saja, kalau dengan data yang ada sekarang ini! Semuanya tidak akan berubah. Untuk berubah pun, membutuhkan proses. Tapi kapan?!” keluh dari adik Ibu Bawel. Semua yang lain menanggapi dengan diam.

Si Ibu Tukang Pijit menghampiri mereka, lalu berkata, “Seharusnya saya dapat, tuh!” dan disambut tawa terkekeh-kekeh oleh ibu-ibu di ruangan itu. Mereka kembali diam karena petugas yang ditunggu-tunggu akhirnya datang juga.

Mereka berbaris rapi, seperti anak sekolah yang akan melaksanakan apel pagi. Mereka lalu mengucapkan janji dengan lantang secara bersamaan: “Janji mitra usaha, hadir tepat waktu, setoran setiap minggu, usaha disetujui teman, hasil usaha untuk keluarga, bertanggungjawab bersama dan mau nalangin teman yang macet.”

Parungkuda, 14 Desember, 2014
Dian Ageung Komala

Catatan Diana 23-27 Juni 2014

20140628_124553

23 Juni, 2014.

Pukul 06:30, matahari masih enggan memberikan kehangatan kepada kami yang harus berangkat pagi untuk bekerja. Pagi itu, sama seperti pagi-pagi kemarin. Rutinitasnya selalu macet di jalan tempat kami menyeberang untuk sampai ke sebuah pabrik garmen, saking banyaknya karyawan dan juga orang-orang yang melalui jalur utama itu.

20140628_063259

20140628_063303

20140628_063331

Walaupun seharusnya jam kerja di pabrik itu—pabrik yang berada di Jalan Parungkuda, di lokasi yang dikenal oleh orang-orang sebagai Palagan—adalah 07:30 – 15:30 WIB, tetapi para karyawan sudah datang pada jam 06:15 dan mulai bekerja pada pukul 06:50. Kebiasaan datang lebih awal itu, oleh Si Pabrik, biasa disebut sebagai bukti tanggung jawab karyawan karena terkadang setiap satu jalur proses produksi (kami biasa menyebutnya dengan istilah line) gagal mendapat target yang harus dicapai di hari sebelumnya. Oleh karena itu, keesokannya, mereka dituntut untuk datang pagi supaya bisa membayar hutang target kemarin, dan itulah yang disebut hak dan kewajiban karyawan.

20140627_093521

Seperti biasa, saya datang paling awal ke ruangan karena sayalah karyawan yang diberi kepercayaan untuk memegang kunci ruangan. Ruangan itu disebut ruangan Gudang Aksesoris (atau disebut juga bagian Acc). Di dalamnya, berisi barang-barang penunjang, seperti sewing thread, label, button, zipper, elastic, satin tape, dan lain-lain sesuai kebutuhan produksi baju tersebut.

20140625_131133

20140626_105708

20140626_150714

Karyawan yang bertugas di ruangan itu berjumlah delapan orang, yaitu Teh Rita, Puji, Neng, Lusi, Gita, Fio, Hana dan saya sendiri. Kami mempunyai tanggung jawab masing-masing. Pekerjaan kami sehari-hari adalah mengambil barang dari gudang utama, lalu menghitungnya untuk mengetahui jumlah aktual dari barang yang datang, apakah sesuai dengan keterangan di surat jalan atau tidak.

Sesuai tanggung jawab masing-masing, setiap hari, kami bisa menghitung puluhan ribu barang dari masing-masing jenisnya. Dari situ, kami bisa mengirimkannya ke bagian produksi yang menjahit baju (bagian sewing), sesuai bon atau jumlah potongan yang datang dari bagian pemotongan kain (bagian cutting).

20140625_065023

20140625_125213

20140626_105751

20140626_105814

20140626_151437

Banyak orang-orang di pabrik garmen mengatakan kalau Gudang Aksesoris itu adalah surganya garmen. Bagi saya sendiri, pekerjaan ini gampang-gampang susah. Mungkin di luar sana, menurut karyawan yang ada di bagian-bagian yang lain, pekerjaan kamiitu tidak susah. Justru, bisa dibilang mereka iri dengan kami karena pekerjaan kami di gudang tidak dikenakan target. Akan tetapi, permainan otak justru diharuskan untuk berjalan di saat balance actual (kesesuaian jumlah) barang tidak sesuai, misalnya jumlahnya lebih sedikit dari keterangan yang tertera di surat jalan. Belum lagi jika ada material yang hilang saat di bagian produksi, di bagian sewing. Atau material yang dibutuhkan packing, seperti label, yang masih banyak ganti-ganti size disaat barang akan diekspor. Sedangkan, terkadang datangnya jumlah material itu cuma pas untuk quantity order (jumlah pesanan). Tidak jarang juga, kami yang ada di Gudang Aksesoris terlibat debat dengan bagian produksi dan marketing gara-gara hilangnya barang.

24 Juni, 2014

Seperti biasa, kami, para karyawan, mulai bekerja pukul 06:50 WIB. Setiap Hari Selasa, masing-masing bagian di pabrik melakukan meeting yang rutin secara mingguan. Isi meeting itu tidak jauh dari pembicaraan mengenai target dan kualitas pakaian. Sampai-sampai, saya juga mungkin sudah bosan mendengarnya. Akan tetapi, rutinitas meeting tidak berlaku di ruangan saya. Kami jarang melakukan meeting karena hanya berdelapan orang sehingga supervisor tidak perlu menceramahi kami dengan teriak-teriak. Yang penting baginya, itu kerjaan beres dan ke-handle.

20140626_174919

20140628_123319

25 Juni, 2014.

Hari ini, pekerjaan gak begitu banyak karena material yang lain belum pada dateng dari supplier. Sekitar pukul 13:45, tiba-tiba lampu padam sehingga gedung saya memakai ganset sebagai sumber listrik. Namun ternyata, ganset pun tidak kuat. Hingga pukul 14:30, akhirnya semua karyawan yang bekerja di gedung itu dipulangkan. Al-hasil, ngutang satu jam karena waktu produktif yang harusnya tujuh jam hanya terpakai enam jam kerja.

20140628_123856

Ngomong-ngomong, saya salut untuk para staf administrasibagian sewing di pabrik ini. Mereka semua perempuan kuat. Pekerjaannya bertumpuk. Dimulai dari loading-an, yaitu pengambilan fabric (kain) ke produksi sewing yang jumlahnya beratus-ratus pcs, mereka membawa fabric-fabric itu dengan mendorongnya menggunakan lori, sendirian. Belum lagi, mereka harus memperbaiki baju yang reject (rusak), membersihkan noda, kadang harus dicuci atau hanya sekedar disikat menggunakan sikat gigi.

20140624_164021

20140624_164851

Setahu saya, tugas seorang staf administrasi itu hanya menulis absen, menulis laporan mengenai capaian, dan mengurus administrasi karyawan di line (jalur produksi) yang mereka pegang. Akan tetapi, saya sendiri tidak tahu kenapa pekerjaan mereka lebih dari itu. Padahal, kalau dibandingkan dengan proporsi kerja mereka dengan karyawan di bagian helper, itu jauh sekali, tetapi dalam hal gaji, mereka sama. Hanya saja, staf administrasi ada great (semacam tunjangan prestasi jabatan) sebesar lima puluh ribu rupiah. Dan great itu, setiap tahunnya, menurun. Di pabrik tempat saya bekerja, great hanya diberikan pada bagian-bagian tertentu, yaitu bagian administrasi, operator sewing dan quality control.

20140625_113713

20140625_113737

IMG_20140624_162039

Saya sempat berbincang-bincang dengan teman saya yang jadi staf administrasi bagian sewing, sebut saja dia EA.

“Dulu aku punya temen yang kerja di PT lain, dan dia kaget dengan cara kerja di adm di sini. Di sana, adm itu dibagi-bagi. Jadi, hanya mengerjakan satu pekerjaan saja. Misalnya, ada adm loading, adm reject …” kata EA.

Saya tidak tahu mana yang benar, tetai berdasarkan yang saya dengar dari orang-orang, memang begitulah kenyataannya.

20140624_134406

20140624_162315

20140624_162818

20140625_124155

20140625_124209

26 Juni, 2014.

Ternyata masih, sama seperti kemarin, lampu di pabrik padam lagi. Dengar-dengar, penyebab mati lampu ini karena puting beliung di Cibadak. Hingga pukul 08:00, kami masih belum bekerja. Sesuai informasi, lampu akan nyala pada pukul 09:00, dan kalau tidak beres juga, mau tidak mau karyawan akan pulang. Dan itu, artinya kami semua akan punya hutang satu hari, alias tujuh jam kerja. Tapi, untungnya enggak. Walaupun ganset-nya nyala-mati-nyala-mati per dua puluh menit, dan semua karyawan di lima line dipulangkan jam 11:30, ganset masih tetap bisa bertahan sampai pukul 17:30 WIB.

Seharian itu, kami serasa diberi bonus akhir tahun. Karena setiap 20 menit nyala, kemudian lampu padam lagi dengan waktu yang lumayan lama, 10 menit. Kalau sudah begitu, Personalia akan berseru bercanda, “Saatnya istirahat sejenak…!”

20140625_113829

20140625_091043

Waktu istirahat itu pun dimanfaatkan oleh karyawan dengan mengobrol, ada juga yang sekedar tiduran sambil duduk (karena kalau selonjoran, itu tidak mungkin… Hehe…!), ada yang secara terang-terangan menggunakan handphone, dan masih banyak lagi kegiatan mereka (khususnya yang dilakuan oleh karyawan di bagian sewing selama lampu mati). Yang lebih menarik, ketika lampunya mati, mereka (karyawan sewing) selalu bersorak “Huuu…!”. Di balik keceriaan yang didapat saat mati lami, mereka semua juga kesal karena tetap dikejar tenggat waktu meskipun sarana pembangkit listriknya tidak menunjang.

20140626_175001

27 Juni, 2014.

Pukul 08:50 WIB, tiba-tiba ada yang menjerit di bagian produksi. Saya kira kesurupan, tapi ternyata sebuah kecelakaan kerja akibat kelalaian manusia itu sendiri (human accident). Jarinya terjahit, dan butuh waktu beberapa menit untuk mencabut jarum itu. Salah satu kecelakaan (tapi yang paling sering terjadi) yang seperti itu biasanya disebabkan kuku panjang dan kurang konsentrasi. Kecelakaan yang sering terjadi juga bisa disebabkan karena rambut panjang yang tidak diikat. Kenapa? Karena posisi mereka bekerja berbaris rapat berbanjar. Di belakang setiap tempat duduk karawan adalah mesin jahit otomatis. Tidak menutup kemungkinan, rambut yang tergurai itu masuk ke mesin jahit.

20140627_064305

20140628_063727

20140628_064238

Parungkuda, Juni 2014
Diana Kusmayanti Amsir

Tak Ada Salahnya Ujian Paket C

Ketika matahari sedang terik-teriknya, dengan pakaian rapih dan kamera dalam tas kecilku, aku meluncur dengan menggunakan angkot berwarna ungu menuju Cibadak. Malam sebelumnya, aku janjian melalui jejaring sosial facebook dengan seorang teman yang akan mengikuti ujian paket C. Aku dan Nurman memutuskan untuk bertemu di Cibadak, karena tempat dia ujian adalah di SD Negeri 1 Karang Tengah. Untuk ke sana, kami harus naik-turun angkot sebanyak dua kali, dan bertemu di Cibadak akan lebih menghemat waktu. Hari itu tanggal 16 April, 2014, hari terakhir ujian.

dariwarga_ujian paket c_01

Dalam perjalanan hari itu, Nurman bercerita bahwa sejak hari kemarin sudah banyak wartawan yang datang meliput. Wartawan dari berbagai media di Sukabumi. Memang, katanya, para peserta yang ikut ujian paket C ini dari berbagai daerah di Kabupaten Sukabumi. Malah, katanya lagi, banyak juga peserta dari Kota Sukabumi yang datang jauh-jauh untuk ikut ujian Paket C di SD itu.

Pembicaraan kami sempat terhenti gara-gara macet di Jembatan Sekarwangi. Orang-orang berkumpul di sisi jembatan. Supir angkot yang kami naiki, bertanya kepada salah satu orang. Ternyata, ditemukan mayat yang menggantung di pohon kelapa yang tertanam di sisi sungai. Padahal, jarak dari jembatan ke pohon kelapanya saja jauh, dan pohon kelapanya juga cukup tinggi. Jadi, dari jembatan kita tidak bisa melihat mayat yang ditemukan. Dalam hati, aku berucap, betapa mudahnya orang-orang berkerumun setiap kali ada peristiwa seperti itu sehingga menyebabkan gangguan pada hal lain, seperti macet di jalan.

dariwarga_ujian paket c_02

Beberapa menit berselang, sampai lah kami di SD Negeri 1 Karang Tengah.

Jalan raya dan sekolah dipisahkan oleh sebuah lapangan (menurutku lebih mirip taman, sih!). Sekolah masih sepi, tidak ada anak-anak berseragam sekolah dasar. Yang ada, empatanak lelaki berpakaian bebas sedang bermain sepeda. Waktu itu sekitar pukul setengah satu siang. Dan dalam beberapa menit, satu per satu, peserta ujian paket C berdatangan. Aku dan Nurman menunggu di depan gerbang, menunggu bel berbunyi. Kami masing-masing menyalakan rokok dan kembali berbincang.

dariwarga_ujian paket c_09

“Kira-kira bisa masuk ruangan ujian, gak, ya? Untuk motret, doang?” tanyaku kepada Nurman.

Gak tahu, kayaknya enggak boleh. Kemarin juga soalnya banyak wartawan. Di Sukabumi, mah, guru-guru sensitif sama wartawan. Hahaha…!”

“Tak apalah kalau tidak bisa memotret dalam ruangan,” ucapku dalam hati.

dariwarga_ujian paket c_08

Nurman pun melanjutkan ceritanya tentang ibunya, yang berprofesi sebagai guru, yang pernah dimintai uang oleh wartawan. Karena, dulu di sekolah tempat ibunya mengajar pernah terjadi kasus penggelapan uang. Padahal, ibunya tidak terlibat, tapi sang wartawan terus mengejar dan mengancam ibunya. Mendengar cerita itu, untuk kesekian kalinya timbul pertanyaan dalam diriku, “Apakah semua wartawan berwatak seperti itu?” Ah, aku tidak tahu.

“Untung saya, mah bukan wartawan. Hahaha…!” aku menanggapi cerita Nurman, disambut tawa olehnya.

dariwarga_ujian paket c_11

Untuk mengikuti ujian paket C ini, Nurman membayar sekitar tujuh ratus ribu rupiah. Itu harga untuk Nurman. Ada orang lain yang bisa membayar hingga sekitar dua jutaan. Aku punya seorang teman lainnya yang berijazah paket C. Dia membayar sekitar dua jutaan, dan bisa terima beres, tidak perlu mengikuti ujian seperti Nurman. Uang dua juta itu sudah termasuk untuk membayar orang yang menggantikan si peserta mengikuti ujian. Yah, seperti joki. Lagi-lagi, aku berucap dalam hati, inikah bangsa kita?

Saat bel masuk ruangan berbunyi, aku dan Nurman pun berpisah. Aku memutuskan untuk berkeliling di area SD itu.

dariwarga_ujian paket c_04

dariwarga_ujian paket c_07

dariwarga_ujian paket c_06

Ada sekitar enam wartawan berkumpul di depan gerbang, entah apa yang mereka perbincangkan. Ketika semua peserta memasuki ruangan masing-masing, aku pun turut masuk. Dengan kamera di tangan, aku memulai memotret bangunan-bangunan sekolah. Mengintip dari balik jendela, aku memotret para peserta sedang fokus dengan pensil 2B di jari mereka. Ada juga para wartawan yang berkumpul di depan ruangan panitia ujian Paket C. Lagi-lagi, aku tidak tahu apa yang mereka perbincangkan. Tak lama, mereka pergi dengan menggunakan motor, entah kemana.

Karena mendengar cerita Nurman, aku jadi merasa agak takut untuk memotret. Akhirnya, aku memutuskan untuk keluar dari pekarangan sekolah dan duduk di tempat aku dan Nurman merokok tadinya.

dariwarga_ujian paket c_13

dariwarga_ujian paket c_12

dariwarga_ujian paket c_15

Ketiga anak laki-laki yang aku lihat pas baru datang tadi masih bermain bola. Mereka masih asik bermain bola meskipun sesekali mereka berputar mengelilingi lapangan dengan sepeda. Kini, saatnya mereka bermain dengan riang setelah menuntut ilmu sejak tadi pagi. Sementara itu, siang ini giliran yang ‘tua-tua’ harus duduk manis dan bergelut dengan kertas ujian mereka.

dariwarga_ujian paket c_14

Di seberang lapangan, ada sepasang sejoli sedang memadu kasih. Dilihat dari celana sang pria, sepertinya mereka siswa Sekolah Menengah Pertama (SMP). Sekali-kali, sang perempuan memeluk prianya. Aku pun tertawa geli melihat adegan itu. “Aduh, anak jaman sekarang, ya!”

dariwarga_ujian paket c_20

Karena merasa bosan, aku kembali masuk ke dalam sekolah. Seorang lelaki paruh baya menghampiriku.

“Telat ya, Neng? Ruangan berapa?” bapak itu mengira kalau aku adalah peserta ujian Paket C.

“Bukan, Pak, saya lagi nungguin teman yang ikut ujian. Bapak Panitia?”

“Oh, kirain peserta juga. Iya, saya panitia.”

“Boleh gak, Pak, saya masuk ke dalam ruangan dan memotret satu atau dua kali jepret?” pintaku.

“Boleh, kok! Silahkan, minta ijin aja ke pengawas yang ada di dalam ruangan!” sarannya.

Aku pun diantarkan ke dalam ruangan Nurman yang saat itu sedang fokus. Si bapak masuk duluan untuk berbicara ke pengawas ujian. Aku pun diijinkan. Klik, klik, klik. Dalam satu urangan, ada dua puluh peserta, dan semuanya dari berbagai umur. Ada yang masih muda seperti aku, ada pula yang sudah berumur. Mereka semua fokus pada kertas mereka meskipun sesekali ada yang terlihat gugup saat aku memotret.

dariwarga_ujian paket c_17

dariwarga_ujian paket c_19

dariwarga_ujian paket c_05

Setelah mengucapkan terimakasih kepada pengawas dan si bapak tadi, aku keluar ruangan. Di depan ruangan panitia, ada papan pengumuman. Papan itu, tertempel kertas-kertas bertuliskan seputar tentang ujian paket C, tata tertib, jadwal ujian, denah ruangan, dan nama-nama peserta yang mengikuti ujian. Ada dua ratus delapan puluh orang yang mengikuti ujian di SD ini. Nurman mengatakan bahwa selain di SD Negeri 1 ini, ada tempat lain juga yang digunakan untuk ujian, yaitu SD Negeri 9 Karang Tengah.

dariwarga_ujian paket c_23

dariwarga_ujian paket c_22

dariwarga_ujian paket c_21

Kebanyakan, berdasarkan pengalaman dan amatanku, orang-orang mengikuti ujian paket C ini hanya untuk mendapatkan pekerjaan yang lebih baik. Contohnya, Nurman. Dia mendapatkan tawaran-tawaran pekerjaan yang membutuhkan karyawan lulusan SMA. Oleh karena itu, dia ikut ujian ini.

dariwarga_ujian paket c_18

Di Sukabumi, salah satu pekerjaan paling populer yang menjamin gaji bertaraf UMK adalah menjadi buruh pabrik. Dan untuk bekerja di pabrik, kita tidak terlalu memerlukan yang namanya ijazah. Apalagi ijazah SMA. Kita dapat melamar kerja di pabrik hanya dengan bermodalkan Kartu Tanda Penduduk saja. Dengan UMK yang saat ini baru mencapai Rp1.565.922, tentu saja, rasanya masih belum dapat mencukupi kebutuhan sehari-hari.

dariwarga_ujian paket c_24

Kondisi yang seperti itu menjadi alasan yang wajar bagi orang yang ingin mencari pekerjaan dengan penghasilan yang lebih baik. Berpindah-pindah kerjaan, mencari gaji yang lebih tinggi, melakukan berbagai cara untuk mendapatkannya.

Tidak ada salahnya, mengikuti ujian paket A, B, dan C hanya untuk sekedar menaikkan taraf hidup. Untuk mendapatkan kesejahteraan yang tingkatnya lebih tinggi. Kalau sudah begini, rasanya, ingin kembali masa kanak-kanak. Karena di masa itu kita tak perlu memikirkan berapa UMK yang kita dapat? Pekerjaan seperti apa yang didapat nanti? Mereka hanya bermain di kesehariannya.

Sketsa Bentang Barat

Berikut ini satu tulisan Zikri tentang Dariwarga Weekly Video ProjectSilahkan disimak! 😀
___________________________________________________________

Suatu siang, saya tiba-tiba saja mengirim pesan ke Ageung melalui android: “Kamu ambil gambar pake kamera video HP, apa pun yang kamu rasa perlu diambil. Terus coba disusun! Atau, kamu menyusunnya dulu di dalam kepala urutan-urutan gambarnya, baru kemudian rekam obyeknya. Coba berimajinasi, biar pun cuma kamu yang mengerti, yang penting latihan visual dulu, dan merekam setiap hari.”

Beberapa bulan sebelumnya, saya mempelajari tentang makna yang melekat pada sebuah obyek. Menurut Kuleshov, setiap obyek itu memiliki dua makna: (1) yang melekat pada obyek itu sendiri, dan (2) makna yang dihasilkan jika obyek itu didekatkan dengan obyek yang lain. Pengertian ini, berdasarkan tulisan Eisenstein yang saya baca, merupakan salah satu prinsip dasar dari montase: kombinasi dua atau lebih obyek (yang “depictable”, atau “yang dapat digambarkan”) akan mencapai representasi dari sesuatu (yang mana sesuatu itu sulit untuk digambarkan secara grafis).

Saya pribadi sangat penasaran dengan tingkah laku Jonas Mekas, Bapak Film alternatif di Amerika, yang selalu menegaskan bahwa sesuatu yang sudah tertangkap di dalam frame kamera adalah sebuah kenyataan yang baru dan berbeda dengan kenyataan yang sesungguhnya. Contohnya, sepeda di depan kamar kosan saya adalah “sepeda teman saya”. Jika sepeda itu saya rekam dengan kamera video maka sepeda yang ada di dalam frame itu bukanlah “sepeda teman saya”, tetapi “sepeda saya”. Saya memiliki kuasa untuk melakukan apa pun terhadap “sepeda saya” itu, misalnya mengobrak-abrik bentuknya dalam proses editing atau memberikannya makna baru dengan cara mengkombinasikannya dengan gambar yang lain.

Dalam karya-karya video Jonas Mekas, gagasan itu terlihat. Misalnya, pada salah satu karyanya yang berjudul “Pleasures of Montauk, May 26th, 1973”, Jonas Mekas mengkonstruksi suatu kronologi adegan seperti catatan harian. Sepertinya, shot demi shot di dalam karya itu merupakan rekaman peristiwa dari waktu dan tempat yang berbeda, yang bahkan tidak saling-berkaitan satu sama lain. Akan tetapi, bagi Jonas Mekas, kumpulan peristiwa-peristiwa yang ia alami itu telah menjadi “miliknya’ saat peristiwa-peristiwa itu masuk ke dalam frame kamera yang ia pegang. Ia bisa melakukan apa saja: mengobrak-abrik gambarnya, mempercepat durasinya, memadukan gambar dari obyek yang satu dengan gambar dari obyek yang lain. Jonas Mekas membuat puisi. Mungkin, pada derajat tertentu kita sulit memahami maksud karya video ini, tetapi kita bisa menikmatinya sebagai sebuah susunan tanda-tanda yang mencirikan gaya bahasa khas Jonas Mekas. Bagi saya sendiri, karya video Jonas Mekas adalah “gaya bahasa mimpi” (Maksud saya, karya video Jonas Mekas yang satu ini bukan berbicara tentang mimpi, melainkan cara penuturannyalah yang persis seperti visual-visual yang saya alami ketika bermimpi, atau dengan kata lain, karya videonya adalah mimpi itu sendiri).

Jonas Mekas juga pernah mengatakan dalam salah satu wawancaranya bahwa video yang sifatnya harian memiliki peluang untuk diolah terus-menerus dan menghasilkan banyak ragam bentuk. Intinya, merekam setiap hari dan mencoba mengolah atau menyusunnya menjadi rangkaian, baik naratif maupun tidak. Anjuran dari Jonas Mekas ini yang menjadi motivasi saya untuk mengajak Ageung mulai merekam dan menyusun.

Ageung sempat kesal juga, pada awalnya, karena saya mendorong-dorongnya terus untuk merekam, bahkan sampai di titik memaksa. Hahaha! Tapi, sedikit demi sedikit, ia mulai menikmati permainan ini. Ageung bercerita kepada saya bahwa ia ingin membuat suatu susunan tentang “mengintai” dari balik beranda lantai dua, rumah bibinya. Kebetulan, waktu itu Ageung sedang berada di Ciputat menemani neneknya yang sedang sakit di rumah sang bibi.

Ageung pun mengambil rekaman demi rekaman. Dari balik berandanya, Ageung menempatkan kamera pada posisi “mata yang mengintip” atau “mengintai” aktivitas warga di belakang rumahnya. Footage yang didapatkan Ageung, antara lain: ada mobil di balik pohon, ada bapak-bapak sedang menyapu pasir, ada bocah-bocah bermain sepeda, ada orang lalu-lalang, dan sebagainya. Idenya, akan terlihat dalam susunan video yang ia buat setelah itu, kamera terus mengintai hingga nantinya “intaian si kamera” terpaksa harus berhenti saat ada angin berhembus kencang. Ide itu kemudian ia gambarkan dalam buku catatan, dan kami berdiskusi mengenai obyek-obyek di dalam frame dan menentukan bagian pada menit keberapa saja yang harus dipotong untuk dimasukkan dan disusun dalam konstruksi video yang akan ia buat.

Oh, iya! Ageung sendiri sempat mengatakan bahwa ia terinspirasi—dan ingin mencoba membuat seperti—karya video BE RTDM (Hafiz & Otty Widasari, 2006). Di website EngageMedia, diutarakan bahwa BE RTDM merupakan:

“Dokumenter tentang kota Rotterdam. Sebuah essai pendek pengalaman sebagai turis yang datang ke kota pelabuhan yang penuh dengan tanda-tanda perubahan yang berbeda dengan kota-kota lain di Belanda.”

Tapi Ageung merasa terlalu berat jika harus membuat essai sehingga ia memilih hanya membuatnya dalam bentuk penuturan biasa saja: deskripsi dengan gambar bergerak.

Aspek naratif pada karya Ageung, yang ia beri judul Bentang Barat, mungkin di mata kita akan terasa sangat minim. Di mata saya sendiri, video ini lebih sebagai medium teropong untuk melihat-lihat apa saja yang ada di belakang rumah bibi Ageung di Ciputat, dan karena meneropongnya menggunakan frame kamera digital, Ageung sepertinya mencoba bermain dengan durasi. Keunggulan kamera yang berfungsi untuk “merekam” dan menjerat/mengabadikan peristiwa riil ke dalam frame menjadi kenyataan yang baru (“kenyataan punya Ageung”), memancing kita untuk menunggu momen yang tepat agar koleksi rekaman yang didapatkan, bagus hasilnya. Angin kencang dalam Bentang Barat, misalnya, adalah momen yang ditunggu-tunggu Ageung untuk memutuskan berhenti “mengintip” atau “mengintai”. Di rentang waktu penungguan itu, Ageung mengulang-ulang lihatannya, dari sisi pagar sebelah kiri ke sisi pagar sebelah kanan, berkali-kali “mengintip” warga, lalu sesekali diam dan memperhatikan orang-orang dengan durasi yang lebih lama. Rekaman-rekaman inilah yang ia susun menjadi sebuah karangan.

Karya video Bentang Barat ada dua versi. Pada versi pertama, karena keterbatasan alat, Ageung hanya menuliskan konstruksinya di buku catatan, dan meminta saya agar meng-edit video tersebut sesuai rancangan konstruksi yang telah ia buat. Ketika karya itu diunggah ke Vimeo, Ageung merasa belum puas dan memutuskan untuk meng-edit sendiri (Ageung bela-belain datang ke Depok hanya untuk men-edit karya videonya di laptop saya. Hahaha!).

Bentang Barat [Versi 01] dan Bentang Barat [Versi 02] adalah dua di antara beberapa karya video yang termasuk dalam Dariwarga Weekly Video Project. Proyek ini kami gagas berdua sebagai salah satu cara untuk mendisiplinkan diri merekam setiap hari, menyunting video setiap minggunya, dan mengelola blog sesering mungkin. Tujuannya: belajar media. #asyek

Semoga saja kegiatan ini dapat terus berlangsung dan Dariwarga bisa menghasilkan karya-karya video yang baik. Teman-teman pembaca sekalian bisa mengunjungi channel video Dariwarga di youtube.com atau channel video Dariwarga di vimeo.com. Selamat menikmati. #yamaaan

Deni Selvi Sa’ban: “…kini sudah jauh dari masa itu.”

Cukup lama tidak membuka email Blog Dariwarga. Ternyata, ada sebuah email masuk sejak enam hari yang lalu, dari seorang teman, yang juga seorang blogger, bernama Deni Selvi Sa’ban (Email: deni.selvisaban@yahoo.com). Teman-teman bisa mengunjungi blog pribadi Deni Selvi Sa’ban di alamat URL berikut: http://hurufberjalan.blogspot.com/. Deni, kita panggil saja begitu, memberikan komentar singkat mengenai buku Bagian Kampung Sawah. Sesuai dengan kesepakatan, setiap tanggapan mengenai buku itu, sesingkat atau sepanjang apa pun, akan dimuat di Blog Dariwarga dalam bentuk postingan.

Silahkan baca dan tanggapi komentar dari Deni Selvi Sa’ban, yang sangat singkat, mengenai Bagian Kampung Sawahberikut ini. Dan kepada Deni, terima kasih komentarnya! 😀

***

Deni
Deni Selvi Sa’ban

Mungkin ada sebuah percakapan yang mengkritisi masa saat ini jauh dari keadaan masa lalu mereka, “Sayang keadaan yang dulu mereka kenang, kini sudah jauh dari masa itu.” Suasana yang sangat berbeda karakteristik yang sangat tidak sama, mungkin, karena mengikuti jaman.

Komentar ini ditulis via email, 12 April, 2014

oleh Deni Selvi Sa’ban

lawas

Kampung Sawah dulu kala_03

Beberapa bulan yang lalu, aku dan ibu melakukan pekerjaan yang sangat melelahkan: membersihkan rumah, sekaligus mengubah tata letak benda-benda di rumah. Kebetulan, Teh Asih, yang dulu menyewa kamar di bagian belakang rumah, sudah pindah entah ke mana. Karenanya, kamar belakang kosong tak ada yang menempati. Abah pun ingin menempatinya sebagai kamar. Dulunya, kamar beliau ada di ruang keluarga, berupa ruang yang dindingnya dibatasi oleh lemari.

Kampung Sawah dulu kala_01

Ternyata, ketika beberes rumah, barang-barang Abah yang tertinggal di tempat bekas kamarnya itu tidak sedikit. Sampai-sampai, aku dan ibu membutuhkan beberapa kali istirahat di tengah-tengah barang-barang yang berantakan. Di kolong tempat tidur, ditemukan berbagai macam barang, seperti sepatu, sendal, alat perkakas, kabel, tas, dan sebagainya. Di lemari pakaian, kami juga menemukan bangkai-bangkai korek yang tersusun rapih. Dan di dalam lemari, kami menemukan benda yang dibungkus oleh kantong plastik berwarna putih. Setelah dibuka, ternyata di dalamnya berisi beberapa album foto lama. Dan di sinilah aku menemukan harta karun.

Kampung Sawah dulu kala_02

Namanya juga harta karun, pastilah berharga. Tapi bukan emas seperti yang sering kita saksikan di filem. Foto Kampung Sawah. Tempat di mana saat ini rumah kami berada. Adanya foto itu, sedikit banyak, menggambarkan situasi dan kondisi di masa lalu yang akhirnya menyebabkan kampung ini dinamakan Kampung Sawah.

Kampung Sawah dulu kala_04

Tanda hijau dalam foto di atas adalah tempat rumah kami berdiri saat ini.

Paseban Dibingkai Bocah-bocah

Aku sudah biasa bermain dengan anak-anak di kampungku di Parungkuda. Namun, bekerja sama dengan anak-anak sungguh hal yang tidak biasa. Hari itu, tanggal 25 Oktober 2013, kami—tim yang terdiri dari Aku, Anib, Ari, Ghembrang, Andrie, Umam, Siba dan Zikri, dikoordinatori oleh Otty Widasari, pada proyek akumassa Ad Hoc untuk Jakarta Biennale 2013—mengadakan workshop fotografi untuk anak-anak di wilayah Paseban, Senen, Jakarta Pusat. Workshop itu diadakan selama empat hari, dari tanggal 25 sampai 28 Oktober, di pos Kantor RW 02, samping lapangan bulutangkis, bernama Lapangan Perintis.

Jaman sekarang, yang namanya handphone sudah tidak hanya berfungsi sebagai alat komunikasi saja. Banyak handphone yang memiliki fitur-fitur canggih, salah satunya kamera. Orang-orang menengah ke bawah bisa memiliki handphone berkamera dengan harga yang cukup murah. Nah, workshop fotografi yang diselenggarakan oleh tim akumassa Ad Hoc berangkat dari ide tersebut: bagaimana warga mampu memaksimalkan teknologi yang sudah mudah diakses tersebut menjadi medium berkarya dan aktivisme. Intinya, keaksaraan media.

Catatan workshop hari pertama, 25 Oktober 2013

Tak kami sangka, ternyata antusiasme anak-anak Paseban cukup besar. Ada sekitar 35 anak ikut serta, mulai dari tingkat Taman Kanak-kanak (TK) hingga Sekolah Menengah Pertama (SMP).

Hari pertama dimulai dengan kegiatan membuat peta Paseban yang dibimbing oleh Bang Galis, seniman dan aktivis budaya dari Sanggar Budaya Paseban. Dalam proyek akumassa Ad Hoc ini, akumassa Forum Lenteng bekerjasama dengan Sanggar Budaya Paseban, komunitas yang aktif melakukan kegiatan pemberdayaan masyarakat di Kelurahan Paseban.

“Siapa yang tahu arah?” tanya Bang Galis kepada seluruh anak-anak.

“Saya! Saya…!” seru anak-anak menjawab.

“Utara ada di mana?” tanya Bang Galis lagi.

“Di atas!!!” anak-anak pun menjawab dengan mengacungkan tangan mereka. Aku dan kawan-kawan akumassa Ad Hoc pun tertawa, teringat gambar peta yang menunjukan arah Utara dengan jarum mengarah ke atas.

“Nah…, di sana ada apa?” tanya Bang Galis sambil menunjuk ke sebelah Utara.

“Beeennnddduuuuunggggaaaannnn…!!!” jawab anak-anak serentak.

“Berarti, di sebelah Utara ada bendungan. Nah, kita gambar di sini!” Bang Galis menggoreskan spidol di papan tulis. “Sekarang, Timur sebelah mana…? Matahari terbenam di sebelah mana?”

“Di atas!!!” kembali mereka mengacungkan jari ke atas.

Satu persatu, arah mata angin ditulis di kertas masing-masing. Di sebelah Utara ada bendungan, di Selatan ada Jalan Raya Paseban, di Timur ada rel kereta api melintang dan sebelah Barat ada sungai. Hampir semua anak hafal ketika harus menyebutkan letak-letak daerah mereka, seperti pasar Paseban, Pondok Kaleng, Gang Lontar dan Lapangan Perintis, tempat kami berada di peta. Anak-anak mengikuti gambar peta yang dibuat Bang Galis. Dan dari lokasi-lokasi yang ada di peta itu lah, kami semua memutuskan lima titik lokasi yang akan dijelajahi keesokan harinya.

Pengalaman hari pertama workshop membuatku tahu betapa tidak mudah tugas seorang guru dalam menghadapi murid-murid mereka. Dalam workshop itu, para bocah berteriak dan duduk di atas meja. Berulang kali kami, selaku pendamping, memperingatkan mereka. Apalah daya, peringatan kami tidak dihiraukan. Aku bahkan sampai merasakan tenggorokan ini sakit karena berteriak-teriak mengatur bocah-bocah, tetapi tidak dihiraukan oleh mereka sama sekali.

Ketika Bang Galis meminta anak-anak menuliskan nama lokasi di peta mereka masing-masing, ternyata ada beberapa anak yang belum bisa menulis dan membaca. Teman-teman mereka lah yang membantu untuk menulis dan mengeja huruf. Di sini, aku melihat bahwa kerjasama antara anak-anak terbangun melalui aktivitas saling membantu satu sama lain.

Setelah anak-anak selesai menggambar peta, para mentor pun mengumpulkan semua karya mereka. Ada yang gambar petanya besar, ada juga yang kecil. Akan tetapi yang membuat bingung, ternyata masih ada beberapa anak yang menggambar peta tidak lengkap, seperti tidak menuliskan nama-nama lokasi. Bahkan, ada juga yang kertasnya masih putih bersih.

Catatan hari ke dua, 26 Oktober 2013

Anak-anak sudah berkumpul di Lapangan Perintis menunggu kami. Saat itu, jam sudah menunjukkan pukul dua siang.

Agenda hari itu adalah anak-anak akan dibagi menjadi lima kelompok., di mana setiap kelompok akan memiliki satu pendamping. Ari mendampingi kelompok satu, aku mendampingi kelompok dua, Shiba mendampingi kelompok tiga, Anib mendampingi kelompok empat, dan kelompok lima oleh Ghembrang.

Masing-masing dari lima kelompok ini akan bertugas menjelajahi satu titik lokasi. Lima titik yang telah kami sepakati di hari pertama adalah Bendungan, Pasar Paseban, Gang Mayit, Gang Lontar dan Pondok Kaleng. Usai pembagian kelompok, pengarahan oleh pendamping, dan sesi foto bersama Mbak Ira—pekerja seni dari Sanggar Budaya Paseban yang hari itu turut hadir melihat kegiatan workshop—satu-persatu kelompok menuju titik lokasi yang telah ditentukan.

Kelompok satu dengan pendamping Ari yang beranggotakan Ayi, Hilda, Filda, Kevin, Ijal, Cinta dan Dwi, menuju Bendungan. Kelompokku, kelompok dua, yang beranggotakan Meyla, Audra, Ripda, Ahmad, Rama dan Nadia, menuju Pasar Paseban. Kelompok tiga dengan pendamping Shiba yang beranggotakan Na, Reno, Ijong, Vina dan Gea menuju Gang Mayit. Kelompok empat dengan pendamping Anib yang beranggotakan Iyung, Vino, Rafli, Alung, Jihan dan Keisha, menuju Gang Lontar. Sedangkan kelompok lima dengan pendamping Ghembrang menuju Pondok Kaleng.

Mungkin pengalamanku sebagai pendamping perjalanan anak-anak tidak jauh beda dengan pengalaman pendamping lainnya, tetapi pasti masing-masing kelompok memiliki keseruannya masing-masing dalam penjelajahan mereka. Namun, dalam tulisan ini, aku hanya akan menceritakan pengalamanku bersama kelompok dua.

Sebelumnya aku bertanya ke anak-anak, rumah siapa saja yang akan kami lewati nanti. Salah satunya rumah Meyla. Belum ada sepuluh langkah kami berjalan, anak-anak sudah siap dengan handphone kamera di tangan untuk memotret rumah Meyla. Mulai dari pagar rumah, pintu dan juga warung makan yang ada di seberang rumah Meyla. Padahal aku tidak secara langsung meminta mereka untuk memotret rumah Meyla. Mungkin, menurut mereka rumah Meyla adalah salah satu bingkaian yang harus mereka jepret: hasrat untuk mendokumentasikan hal-hal tentang teman, sesuatu yang dekat dengan diri mereka.

Perjalanan kami lanjutkan, bingkai demi bingkai Paseban pun kami rekam.

“Wih, di pasar ini banyak, ya, kak yang bisa difoto?!” seru Rama ketika langkah kami mulai memasuki Pasar Paseban.

“Memang! Ada sayuran dan buah-buahan…, orang-orangnya juga banyak. Ya, kan?” jawabku.

Mereka sibuk dengan kameranya masing-masing. Kebetulan semua anggota kelompok dua memegang handphone berkamera. Ketika di awal pembagian kelompok, aku beserta kawan-kawan pendamping lainnya sepakat untuk terlebih dahulu membagi anak-anak yang membawa handphone berkamera. Sebab, ada sebagian anak yang tidak punya. Sebenarnya, waktu pembagian kelompok, Rama dan Audra  tidak membawa handphoe. Tapi ketika akan memulai perjalan, Mama si Meyla meminjamkan handphone-nya ke Audra dan aku meminjamkan milikku ke Rama. Jadi, semua anggota kelompok dua membawa handphone yang dapat digunakan untuk merekam obyek-obyek yang menarik selama perjalanan.

Oh, iya! Dalam perjalanan itu, ada satu ‘anggota tambahan’ bagi kelompok dua, yaitu Mama Meyla. Tiba-tiba saja Mama Meyla mengikuti kami terus selama perjalanan. Jadi, ya sudah, hitung-hitung lumayan juga untuk petunjuk arah.

Anak-anak di kelompok dua peka terhadap kegiatan-kegiatan yang ada di pasar, menurutku. Misalnya, ketika ada pedagang buah sedang mengupas nanas, mereka langsung berebut untuk memotret.

“Buat apa, sih?” tanya si Ibu pedagang buah.

“Kita lagi ada workshop foto, Bu. Ini anak-anak lagi ada tour motret-motret,” jawabku, dan si Ibu melanjutkan kegiatannya.

Tidak hanya si Ibu itu yang bertanya, para pedagang lain pun turut bertanya-tanya. Di pasar itu, ada sebuah taman kecil. Yah, namanya juga anak kecil, mereka langsung bergaya untuk dipotret. Seperti Meyla, dia lebih memilih memotret dirinya sendiri di taman daripada memotret teman-temannya.

Selain para pedagang dan taman, mereka juga memotret rumah-rumah burung merpati, kambing, kucing, dan obyek-obyek yang menarik lainnya menurut perspektif mereka. Ketika kami sedang dalam perjalan pulang, kami bertemu kelompok lima yang didampingi oleh Ghembrang.

“Loh, kok, Pondok Kaleng bisa nyasar ke sini?” tanya Mama Meyla.

“Lah, kita jalan lewat sini juga, Mbak!” jawab Ghembrang dengan logat Jawa medoknya.

Kelompok dua dan lima langsung saling memotret satu sama lain. Kami pun melanjutkan perjalan menuju Lapangan Perintis. Ternyata kelompok dua lah yang mencapai finish terlebih dahulu.

Semua foto-foto hasil tour keliling Paseban itu kami kumpulkan dalam satu file di komputer, dan malam harinya Ari, sebagai penanggung jawab workshop, memilih satu foto dari setiap anak untuk diminta dinarasikan oleh masing-masing anak keesokan harinya.

Catatan hari ketiga, 27 Oktober 2013

Seperti hari-hari sebelum-sebelumnya, anak-anak sudah berkumpul di lapangan menunggu kami para pendamping. Kami kembali masuk ke dalam satu ruangan, yakni ruang kelas PAUD di Pos RW 02, Kelurahan Paseban. Suasananya tak beda dengan hari pertama, riuh ramai.

Satu persatu anak-anak dipanggil ke depan untuk menceritakan hasil jepretan mereka di hari kemarin. Kendalanya, ketika mereka harus menceritakan fotonya sendiri, mereka justru susah ngomong. Disitulah posisi pendamping yang berperan membantu anak-anak di setiap kelompok untuk bercerita tentang foto-foto mereka. Aku baru sadar ketika sesi presentasi foto ini, bahwa hasil jepretan mereka keren-keren. Rumah, jemuran baju, sungai dengan banyak sampah, lapangan, teman-teman mereka, dan sebagainya.

Di antara sekian banyak anak, ada satu orang yang mmiliki keberanian berbicara di depan kelas. Namanya Nur.

“Ini adalah rumah teman, Sulis. Aku foto rumah ini karena rumahnya menarik, banyak pepohonan,” cerita Nur dengan lancarnya. Semua orang yang ada di kelas langsung bertepuk tangan.

Anggota kelompokku tidak ada yang berani ngomong. Semuanya berbisik kepadaku dan aku menjelaskan dengan lantang ke teman-teman lainnya.

“Aku foto ini karena aku suka kucing,” bisik Ahmad dan aku menyampaikan kepada teman-teman yang lainnya.

Menurut Ari, karena spontanitas yang ada pada anak-anak dalam menggunakan handphone berkamera terhadap obyek-obyek yang dilewati selama perjalanan, hasil jepretan mereka terlihat lebih natural.

Catatan hari keempat, 28 Oktober 2013

Foto-foto yang diceritakan di hari ketiga, pada hari keempat dicetak dan dibagikan ke anak-anak. Hari itu, anak-anak diberi kesempatan untuk menuliskan harapan-harapan mereka untuk Paseban. Awalnya, mereka bingung tentang harapan-harapan itu. Ari pun memberikan contoh, tentang harapan sungai yang bersih dari sampah. Ada contoh lainnya, tapi semua contoh yang kami berikan adalah tentang suatu obyek, seperti sungai, jalan berlubang dan lainnya.

Yah, sayangnya mereka justru terpaku ke contoh-contoh itu. Seperti di kelompok dua, mereka ingin di Paseban lebih banyak lagi ditanami pepohonan dan jalan-jalan diperbaiki.

Dari semua anggota kelompok dua, harapan dari Ahmad lah, menurutku, yang paling menarik. Dia menuliskan kalimat “Tidak mau ada persaingan di Paseban”.

Menarik bukan?! Dari sekian banyak harapan tentang perbaikan jalan, sungai yang bersih, pepohonan yang rimbun, dia memilih harapan itu: sebuah harapan yang, mungkin saja, menyiratkan suatu kondisi sosial di Paseban, yang memancing rasa ingin tahu lebih jauh bagi kami yang bukan warga asli di daerah itu. Anak-anak memang tidak bisa ditebak apa yang ada di dalam pikiran mereka. Apa yang mereka inginkan dan apa yang mereka ketahui.

Ketika akan menuliskan harapan di kertas, kelompok dua mengalami kesulitan. Semua anak-anak di kelompokku sudah hafal huruf-huruf alfabet, namun belum dapat merangkainya menjadi satu kata dan kalimat. Disinilah tugasku sebagai pendamping. Aku pun membantu mereka mengeja satu demi satu huruf. Seperti ketika Audra ingin menulis tentang keinginannya jalan-jalan di Paseban, aku memandunya sembari meperbaiki kalimatnya.

“A… K… U… I… N…G… I… N… J… A… L… A… N… STRIP… J… A… L… A… N… D… I… P… A… S… E… B… A… N… D… I… P… E… R… B… A… I… K… I…” tuturku ke Audra. Jadilah satu kalimat yang memberitahukan harapannya di Paseban.

***

Seperti halnya orang dewasa, anak-anak pun akan memotret hal-hal yang mereka sukai. Namun, tentu saja, ketertarikan di antara dua domain usia yang berbeda itu pun, terhadap hal-hal di sekitarnya, akan pasti berbeda pula. Bahkan, di setiap anak, juga akan punya pikiran yang berbeda. Akhirnya, hasil jepretan pun, tentunya, pasti berbeda.

Dan inilah beberapa hasil jepretan anak-anak Paseban. Bayangan masa depan akan sebuah area di Senen dari sudut pandang pribadi-pribadi yang, dengan gembira dan tanpa beban, setiap hari berkejar-kejaran, main sepak bola dan bulutangkis, bersepeda, mandi hujan, atau menghampiri rumah demi rumah, memanggil-manggil nama teman mereka di sore hari untuk menghimpun pasukan yang siap membuat kehebohan di Lapangan Perintis, atau bahkan ke setiap penjuru kelurahan: bocah-bocah Paseban.

Paseban, Senen, Jakarta, 3 November 2013

Dian Ageung Komala