Ketika matahari sedang terik-teriknya, dengan pakaian rapih dan kamera dalam tas kecilku, aku meluncur dengan menggunakan angkot berwarna ungu menuju Cibadak. Malam sebelumnya, aku janjian melalui jejaring sosial facebook dengan seorang teman yang akan mengikuti ujian paket C. Aku dan Nurman memutuskan untuk bertemu di Cibadak, karena tempat dia ujian adalah di SD Negeri 1 Karang Tengah. Untuk ke sana, kami harus naik-turun angkot sebanyak dua kali, dan bertemu di Cibadak akan lebih menghemat waktu. Hari itu tanggal 16 April, 2014, hari terakhir ujian.
Dalam perjalanan hari itu, Nurman bercerita bahwa sejak hari kemarin sudah banyak wartawan yang datang meliput. Wartawan dari berbagai media di Sukabumi. Memang, katanya, para peserta yang ikut ujian paket C ini dari berbagai daerah di Kabupaten Sukabumi. Malah, katanya lagi, banyak juga peserta dari Kota Sukabumi yang datang jauh-jauh untuk ikut ujian Paket C di SD itu.
Pembicaraan kami sempat terhenti gara-gara macet di Jembatan Sekarwangi. Orang-orang berkumpul di sisi jembatan. Supir angkot yang kami naiki, bertanya kepada salah satu orang. Ternyata, ditemukan mayat yang menggantung di pohon kelapa yang tertanam di sisi sungai. Padahal, jarak dari jembatan ke pohon kelapanya saja jauh, dan pohon kelapanya juga cukup tinggi. Jadi, dari jembatan kita tidak bisa melihat mayat yang ditemukan. Dalam hati, aku berucap, betapa mudahnya orang-orang berkerumun setiap kali ada peristiwa seperti itu sehingga menyebabkan gangguan pada hal lain, seperti macet di jalan.
Beberapa menit berselang, sampai lah kami di SD Negeri 1 Karang Tengah.
Jalan raya dan sekolah dipisahkan oleh sebuah lapangan (menurutku lebih mirip taman, sih!). Sekolah masih sepi, tidak ada anak-anak berseragam sekolah dasar. Yang ada, empatanak lelaki berpakaian bebas sedang bermain sepeda. Waktu itu sekitar pukul setengah satu siang. Dan dalam beberapa menit, satu per satu, peserta ujian paket C berdatangan. Aku dan Nurman menunggu di depan gerbang, menunggu bel berbunyi. Kami masing-masing menyalakan rokok dan kembali berbincang.
“Kira-kira bisa masuk ruangan ujian, gak, ya? Untuk motret, doang?” tanyaku kepada Nurman.
“Gak tahu, kayaknya enggak boleh. Kemarin juga soalnya banyak wartawan. Di Sukabumi, mah, guru-guru sensitif sama wartawan. Hahaha…!”
“Tak apalah kalau tidak bisa memotret dalam ruangan,” ucapku dalam hati.
Nurman pun melanjutkan ceritanya tentang ibunya, yang berprofesi sebagai guru, yang pernah dimintai uang oleh wartawan. Karena, dulu di sekolah tempat ibunya mengajar pernah terjadi kasus penggelapan uang. Padahal, ibunya tidak terlibat, tapi sang wartawan terus mengejar dan mengancam ibunya. Mendengar cerita itu, untuk kesekian kalinya timbul pertanyaan dalam diriku, “Apakah semua wartawan berwatak seperti itu?” Ah, aku tidak tahu.
“Untung saya, mah bukan wartawan. Hahaha…!” aku menanggapi cerita Nurman, disambut tawa olehnya.
Untuk mengikuti ujian paket C ini, Nurman membayar sekitar tujuh ratus ribu rupiah. Itu harga untuk Nurman. Ada orang lain yang bisa membayar hingga sekitar dua jutaan. Aku punya seorang teman lainnya yang berijazah paket C. Dia membayar sekitar dua jutaan, dan bisa terima beres, tidak perlu mengikuti ujian seperti Nurman. Uang dua juta itu sudah termasuk untuk membayar orang yang menggantikan si peserta mengikuti ujian. Yah, seperti joki. Lagi-lagi, aku berucap dalam hati, inikah bangsa kita?
Saat bel masuk ruangan berbunyi, aku dan Nurman pun berpisah. Aku memutuskan untuk berkeliling di area SD itu.
Ada sekitar enam wartawan berkumpul di depan gerbang, entah apa yang mereka perbincangkan. Ketika semua peserta memasuki ruangan masing-masing, aku pun turut masuk. Dengan kamera di tangan, aku memulai memotret bangunan-bangunan sekolah. Mengintip dari balik jendela, aku memotret para peserta sedang fokus dengan pensil 2B di jari mereka. Ada juga para wartawan yang berkumpul di depan ruangan panitia ujian Paket C. Lagi-lagi, aku tidak tahu apa yang mereka perbincangkan. Tak lama, mereka pergi dengan menggunakan motor, entah kemana.
Karena mendengar cerita Nurman, aku jadi merasa agak takut untuk memotret. Akhirnya, aku memutuskan untuk keluar dari pekarangan sekolah dan duduk di tempat aku dan Nurman merokok tadinya.
Ketiga anak laki-laki yang aku lihat pas baru datang tadi masih bermain bola. Mereka masih asik bermain bola meskipun sesekali mereka berputar mengelilingi lapangan dengan sepeda. Kini, saatnya mereka bermain dengan riang setelah menuntut ilmu sejak tadi pagi. Sementara itu, siang ini giliran yang ‘tua-tua’ harus duduk manis dan bergelut dengan kertas ujian mereka.
Di seberang lapangan, ada sepasang sejoli sedang memadu kasih. Dilihat dari celana sang pria, sepertinya mereka siswa Sekolah Menengah Pertama (SMP). Sekali-kali, sang perempuan memeluk prianya. Aku pun tertawa geli melihat adegan itu. “Aduh, anak jaman sekarang, ya!”
Karena merasa bosan, aku kembali masuk ke dalam sekolah. Seorang lelaki paruh baya menghampiriku.
“Telat ya, Neng? Ruangan berapa?” bapak itu mengira kalau aku adalah peserta ujian Paket C.
“Bukan, Pak, saya lagi nungguin teman yang ikut ujian. Bapak Panitia?”
“Oh, kirain peserta juga. Iya, saya panitia.”
“Boleh gak, Pak, saya masuk ke dalam ruangan dan memotret satu atau dua kali jepret?” pintaku.
“Boleh, kok! Silahkan, minta ijin aja ke pengawas yang ada di dalam ruangan!” sarannya.
Aku pun diantarkan ke dalam ruangan Nurman yang saat itu sedang fokus. Si bapak masuk duluan untuk berbicara ke pengawas ujian. Aku pun diijinkan. Klik, klik, klik. Dalam satu urangan, ada dua puluh peserta, dan semuanya dari berbagai umur. Ada yang masih muda seperti aku, ada pula yang sudah berumur. Mereka semua fokus pada kertas mereka meskipun sesekali ada yang terlihat gugup saat aku memotret.
Setelah mengucapkan terimakasih kepada pengawas dan si bapak tadi, aku keluar ruangan. Di depan ruangan panitia, ada papan pengumuman. Papan itu, tertempel kertas-kertas bertuliskan seputar tentang ujian paket C, tata tertib, jadwal ujian, denah ruangan, dan nama-nama peserta yang mengikuti ujian. Ada dua ratus delapan puluh orang yang mengikuti ujian di SD ini. Nurman mengatakan bahwa selain di SD Negeri 1 ini, ada tempat lain juga yang digunakan untuk ujian, yaitu SD Negeri 9 Karang Tengah.
Kebanyakan, berdasarkan pengalaman dan amatanku, orang-orang mengikuti ujian paket C ini hanya untuk mendapatkan pekerjaan yang lebih baik. Contohnya, Nurman. Dia mendapatkan tawaran-tawaran pekerjaan yang membutuhkan karyawan lulusan SMA. Oleh karena itu, dia ikut ujian ini.
Di Sukabumi, salah satu pekerjaan paling populer yang menjamin gaji bertaraf UMK adalah menjadi buruh pabrik. Dan untuk bekerja di pabrik, kita tidak terlalu memerlukan yang namanya ijazah. Apalagi ijazah SMA. Kita dapat melamar kerja di pabrik hanya dengan bermodalkan Kartu Tanda Penduduk saja. Dengan UMK yang saat ini baru mencapai Rp1.565.922, tentu saja, rasanya masih belum dapat mencukupi kebutuhan sehari-hari.
Kondisi yang seperti itu menjadi alasan yang wajar bagi orang yang ingin mencari pekerjaan dengan penghasilan yang lebih baik. Berpindah-pindah kerjaan, mencari gaji yang lebih tinggi, melakukan berbagai cara untuk mendapatkannya.
Tidak ada salahnya, mengikuti ujian paket A, B, dan C hanya untuk sekedar menaikkan taraf hidup. Untuk mendapatkan kesejahteraan yang tingkatnya lebih tinggi. Kalau sudah begini, rasanya, ingin kembali masa kanak-kanak. Karena di masa itu kita tak perlu memikirkan berapa UMK yang kita dapat? Pekerjaan seperti apa yang didapat nanti? Mereka hanya bermain di kesehariannya.