Ibu Tukang Pijit

Ilustrasi-ibu-tukang-pijit_Dariwarga_17-12-2014-Dian-Komala

Hari yang cerah di tengah-tengah seringnya hujan turun beberapa bulan ini. Matahari terang benderang membuat butir-butir keringat terjun langsung dari pipi ke lehernya. Terkantuk-kantuk, di tangannya masih ada jarum dan sehelai kain. Menyulam adalah pekerjaan hariannya. Berbagai macam sulaman ia kerjakan. Bahan sulaman ini datang dari sebuah agen pabrik garmen. Untuk satu helai kain, tak tentu harganya, tergantung dari kemudahan dan waktu pengerjaan. Sulaman yang sedang ia kerjakan bernilai tujuh ratus lima puluh rupiah per helai. Lama waktu pengerjaannya sekitar dua puluh menit. Ya, apalah daya!? Hanya itu yang bisa ia kerjakan sembari menunggu panggilan memijit dari orang lain.

Dulu, ia adalah seorang dukun beranak. Tapi sekarang, dukun beranak sudah tidak boleh beroperasi di wilayah Parungkuda. Meskipun begitu, ada satu-dua orang yang masih memakai jasanya untuk melahirkan. Ilegal? Sepertinya tidak. Dulu pun, sebelum ada dokter kandungan dan bidan, dukun beranak adalah satu-satunya pilihan. Sampai saat ini, dia tidak pernah gagal dalam melaksanakan tugasnya sebagai dukun beranak. Namun, tak semua orang mengandalkannya, yang lain lebih memilih puskesmas dekat rumah yang memiliki fasilitas dua puluh empat jam untuk melahirkan. Jadi, menyulamlah satu-satunya pilihan, sembari menunggu panggilan memijit. Banyak orang di kampung Parungkuda menjadi langganan pijitannya. Tapi tentu saja tidak setiap hari panggilan itu datang.

Rokok kreteknya sudah hampir habis dimakan bara, matanya masih saja terpejam.

“Assalamualaikum…!” sapa seseorang di depan pintu rumahnya.

“Tak ada uang hari ini. Doakan hari ini gajian sulam keluar!” jawabnya tersentak, kaget karena sapaan seorang tukang kredit baju.

“Beneran, ya, Mak! Soalnya kemarin pun tidak bayar,” si Tukang Kredit pergi menjauh ke rumah yang lain, yang merupakan pelanggan baju kredit juga.

Matanya kembali menuju jarum dan kain yang masih ada di tangannya. “Sudah ashar, baru dapat lima belas?!” keluhnya.

Dengan cekatan, dia memasukan manik-manik berbentuk piring kecil dan memasangkannya ke kain, tepat seperti permintaan agen. Di luar, terlihat sesosok pria yang sangat ia kenal. Suaminya baru pulang dari rombongan pariwisata ibu-ibu ziarah. “Lumayan untuk bayar nanti sore,” gumamnya.

Suaminya seorang kondektur bus pariwisata. Bayaran dari pekerjaan ini pun tidak dapat memenuhi kebutuhan sehari-hari keluarga mereka. Bayarannya lumayan, tetapi panggilan pariwisata itu juga tak datang di setiap minggu. Kadang, bisa sampai sebulan lamanya, panggilan ibu-ibu untuk berlibur berziarah ke makam-makam wali di luar kota tak kunjung datang. Mereka masih punya tanggung jawab agar si bungsu dapat lulus sekolah menengah kejuruan: harapan terakhir untuk memperbaiki perekenomian keluarga.

“Assalamualaikum, Mak!” sosok pria paruh baya berjaket kulit dan buku di tangan datang.

“Sebentar, ya, Aa!” jawabnya sambil berjalan menuju kamar, tempat suaminya berada. Tak lama, dia kembali menuju pria itu dengan lembaran-lembaran uang di tangan. “Nih, A!”

Pria itu menerima uang sebesar tiga puluh lima ribu rupiah. Mencatat di buku dan menyobek kertas bernomor tiga belas. Kertas sobekan itu dia berikan kepada si Ibu.

“Wih, sudah tiga belas! Bisa dibarukan dong?! Butuh untuk bayar anak sekolah, nih, A! Lima ratus saja, bisa?” tanya si Ibu

“Saya tanya sama si Bos dulu, ya, Mak! Soalnya, Mak, sempat bolong-bolong angsurannya,” jawab si pria.

“Oke, deh…! Tapi diusahakan, ya…!”

“Saya permisi dulu. Assalamualaikum!”

“Waalaikum salam!”

Si pria itu pergi dengan sepeda motornya. Si Ibu lalu bergegas menuju dapur, membuat secangkir kopi hitam untuk sang suami. Beberapa menit kemudian, ia kembali tenggelam dalam sulamannya.

Sekarang panas terik sudah tertutup awan-awan mendung. Ia harus segera menyetorkan sulaman ini, sebelum hujan turun. Melipat satu per satu kain yang telah selesai disulam; dua puluh helai kain telah selesai ia kerjaan. “Tak apa hari ini cuma dapat dua puluh…,” ujarnya pada diri sendiri.

Kemudian ia memasukkan kain-kain itu ke dalam kantong plastik besar berwarna merah. Menggendongnya di punggung, dan berjalanlah ia sambil bersenandung lagu dangdut dari penyanyi kondang Rita Sugiarto, “Cantik memang aku akui. Usia muda pun ia miliki……….. Baju baru kau sayang-sayang. Kain lapuk kau buang-buang…..!

Harapan satu-satunya ketika ia kembali dari mengantar sulaman adalah uang upahnya yang dapat ia bawa esok hari untuk membayar janji yang telah ia sepakati bersama ibu-ibu tetangganya.

Parungkuda, 16 Desember, 2014
Dian Ageung Komala

Sketsa Bentang Barat

Berikut ini satu tulisan Zikri tentang Dariwarga Weekly Video ProjectSilahkan disimak! 😀
___________________________________________________________

Suatu siang, saya tiba-tiba saja mengirim pesan ke Ageung melalui android: “Kamu ambil gambar pake kamera video HP, apa pun yang kamu rasa perlu diambil. Terus coba disusun! Atau, kamu menyusunnya dulu di dalam kepala urutan-urutan gambarnya, baru kemudian rekam obyeknya. Coba berimajinasi, biar pun cuma kamu yang mengerti, yang penting latihan visual dulu, dan merekam setiap hari.”

Beberapa bulan sebelumnya, saya mempelajari tentang makna yang melekat pada sebuah obyek. Menurut Kuleshov, setiap obyek itu memiliki dua makna: (1) yang melekat pada obyek itu sendiri, dan (2) makna yang dihasilkan jika obyek itu didekatkan dengan obyek yang lain. Pengertian ini, berdasarkan tulisan Eisenstein yang saya baca, merupakan salah satu prinsip dasar dari montase: kombinasi dua atau lebih obyek (yang “depictable”, atau “yang dapat digambarkan”) akan mencapai representasi dari sesuatu (yang mana sesuatu itu sulit untuk digambarkan secara grafis).

Saya pribadi sangat penasaran dengan tingkah laku Jonas Mekas, Bapak Film alternatif di Amerika, yang selalu menegaskan bahwa sesuatu yang sudah tertangkap di dalam frame kamera adalah sebuah kenyataan yang baru dan berbeda dengan kenyataan yang sesungguhnya. Contohnya, sepeda di depan kamar kosan saya adalah “sepeda teman saya”. Jika sepeda itu saya rekam dengan kamera video maka sepeda yang ada di dalam frame itu bukanlah “sepeda teman saya”, tetapi “sepeda saya”. Saya memiliki kuasa untuk melakukan apa pun terhadap “sepeda saya” itu, misalnya mengobrak-abrik bentuknya dalam proses editing atau memberikannya makna baru dengan cara mengkombinasikannya dengan gambar yang lain.

Dalam karya-karya video Jonas Mekas, gagasan itu terlihat. Misalnya, pada salah satu karyanya yang berjudul “Pleasures of Montauk, May 26th, 1973”, Jonas Mekas mengkonstruksi suatu kronologi adegan seperti catatan harian. Sepertinya, shot demi shot di dalam karya itu merupakan rekaman peristiwa dari waktu dan tempat yang berbeda, yang bahkan tidak saling-berkaitan satu sama lain. Akan tetapi, bagi Jonas Mekas, kumpulan peristiwa-peristiwa yang ia alami itu telah menjadi “miliknya’ saat peristiwa-peristiwa itu masuk ke dalam frame kamera yang ia pegang. Ia bisa melakukan apa saja: mengobrak-abrik gambarnya, mempercepat durasinya, memadukan gambar dari obyek yang satu dengan gambar dari obyek yang lain. Jonas Mekas membuat puisi. Mungkin, pada derajat tertentu kita sulit memahami maksud karya video ini, tetapi kita bisa menikmatinya sebagai sebuah susunan tanda-tanda yang mencirikan gaya bahasa khas Jonas Mekas. Bagi saya sendiri, karya video Jonas Mekas adalah “gaya bahasa mimpi” (Maksud saya, karya video Jonas Mekas yang satu ini bukan berbicara tentang mimpi, melainkan cara penuturannyalah yang persis seperti visual-visual yang saya alami ketika bermimpi, atau dengan kata lain, karya videonya adalah mimpi itu sendiri).

Jonas Mekas juga pernah mengatakan dalam salah satu wawancaranya bahwa video yang sifatnya harian memiliki peluang untuk diolah terus-menerus dan menghasilkan banyak ragam bentuk. Intinya, merekam setiap hari dan mencoba mengolah atau menyusunnya menjadi rangkaian, baik naratif maupun tidak. Anjuran dari Jonas Mekas ini yang menjadi motivasi saya untuk mengajak Ageung mulai merekam dan menyusun.

Ageung sempat kesal juga, pada awalnya, karena saya mendorong-dorongnya terus untuk merekam, bahkan sampai di titik memaksa. Hahaha! Tapi, sedikit demi sedikit, ia mulai menikmati permainan ini. Ageung bercerita kepada saya bahwa ia ingin membuat suatu susunan tentang “mengintai” dari balik beranda lantai dua, rumah bibinya. Kebetulan, waktu itu Ageung sedang berada di Ciputat menemani neneknya yang sedang sakit di rumah sang bibi.

Ageung pun mengambil rekaman demi rekaman. Dari balik berandanya, Ageung menempatkan kamera pada posisi “mata yang mengintip” atau “mengintai” aktivitas warga di belakang rumahnya. Footage yang didapatkan Ageung, antara lain: ada mobil di balik pohon, ada bapak-bapak sedang menyapu pasir, ada bocah-bocah bermain sepeda, ada orang lalu-lalang, dan sebagainya. Idenya, akan terlihat dalam susunan video yang ia buat setelah itu, kamera terus mengintai hingga nantinya “intaian si kamera” terpaksa harus berhenti saat ada angin berhembus kencang. Ide itu kemudian ia gambarkan dalam buku catatan, dan kami berdiskusi mengenai obyek-obyek di dalam frame dan menentukan bagian pada menit keberapa saja yang harus dipotong untuk dimasukkan dan disusun dalam konstruksi video yang akan ia buat.

Oh, iya! Ageung sendiri sempat mengatakan bahwa ia terinspirasi—dan ingin mencoba membuat seperti—karya video BE RTDM (Hafiz & Otty Widasari, 2006). Di website EngageMedia, diutarakan bahwa BE RTDM merupakan:

“Dokumenter tentang kota Rotterdam. Sebuah essai pendek pengalaman sebagai turis yang datang ke kota pelabuhan yang penuh dengan tanda-tanda perubahan yang berbeda dengan kota-kota lain di Belanda.”

Tapi Ageung merasa terlalu berat jika harus membuat essai sehingga ia memilih hanya membuatnya dalam bentuk penuturan biasa saja: deskripsi dengan gambar bergerak.

Aspek naratif pada karya Ageung, yang ia beri judul Bentang Barat, mungkin di mata kita akan terasa sangat minim. Di mata saya sendiri, video ini lebih sebagai medium teropong untuk melihat-lihat apa saja yang ada di belakang rumah bibi Ageung di Ciputat, dan karena meneropongnya menggunakan frame kamera digital, Ageung sepertinya mencoba bermain dengan durasi. Keunggulan kamera yang berfungsi untuk “merekam” dan menjerat/mengabadikan peristiwa riil ke dalam frame menjadi kenyataan yang baru (“kenyataan punya Ageung”), memancing kita untuk menunggu momen yang tepat agar koleksi rekaman yang didapatkan, bagus hasilnya. Angin kencang dalam Bentang Barat, misalnya, adalah momen yang ditunggu-tunggu Ageung untuk memutuskan berhenti “mengintip” atau “mengintai”. Di rentang waktu penungguan itu, Ageung mengulang-ulang lihatannya, dari sisi pagar sebelah kiri ke sisi pagar sebelah kanan, berkali-kali “mengintip” warga, lalu sesekali diam dan memperhatikan orang-orang dengan durasi yang lebih lama. Rekaman-rekaman inilah yang ia susun menjadi sebuah karangan.

Karya video Bentang Barat ada dua versi. Pada versi pertama, karena keterbatasan alat, Ageung hanya menuliskan konstruksinya di buku catatan, dan meminta saya agar meng-edit video tersebut sesuai rancangan konstruksi yang telah ia buat. Ketika karya itu diunggah ke Vimeo, Ageung merasa belum puas dan memutuskan untuk meng-edit sendiri (Ageung bela-belain datang ke Depok hanya untuk men-edit karya videonya di laptop saya. Hahaha!).

Bentang Barat [Versi 01] dan Bentang Barat [Versi 02] adalah dua di antara beberapa karya video yang termasuk dalam Dariwarga Weekly Video Project. Proyek ini kami gagas berdua sebagai salah satu cara untuk mendisiplinkan diri merekam setiap hari, menyunting video setiap minggunya, dan mengelola blog sesering mungkin. Tujuannya: belajar media. #asyek

Semoga saja kegiatan ini dapat terus berlangsung dan Dariwarga bisa menghasilkan karya-karya video yang baik. Teman-teman pembaca sekalian bisa mengunjungi channel video Dariwarga di youtube.com atau channel video Dariwarga di vimeo.com. Selamat menikmati. #yamaaan

Cerita Si Jaket Merah

Satu lagi arsip lama di blog lewatjamenam.blogspot.com. Kali ini tulisan yang indah karya Merre, lengkap dengan ilustrasi-ilustrasinya yang ekspresif. Silahkan dibaca, teman-teman! 😀

———————————————————————————————————————————-

Si jaket merah dan rambutnya yang masih setengah basah berlari kecil ke luar dari pagar rumahnya. Tiap pagi pukul setengah delapan kerjanya hanya berpikir sambil berlari, “Kenapa harus telat setiap hari selalu telat…”.

Dan tiap pagi juga, pikirnya itu hanya sebatas pikiran, tak pernah berkelanjutan jadi sebuah perubahan yang signifikan.

dariwarga_cerita si jaket merah_tulisan merre_01

***

Setelah 85 langkah menjauhi pagar, sebuah angkutan kota telah menunggunya seperti biasa. Dengan tangan berayun-ayun si supir batak mengajaknya untuk segera masuk. “Empat enam empat enam…!” wajah keras berkumis tipis itu berkomat-kamit menyuruh penumpang duduk merapat.

dariwarga_cerita si jaket merah_tulisan merre_02

Si jaket merah turut serta merapat di dalamnya. Kemudian ia mulai gelisah, mengutuk jarum jam yang berpindah terlalu cepat. Matanya masih mengantuk, bahkan saat angkot itu berhenti di tempat yang ia tuju. Langkahnya pelan tak lagi semangat, karena ia sudah terlalu terlambat.

Lebak Bulus, Tangerang Selatan. Itu lah tempat ia berdiri kini. Di sebuah halte bersama tubuh-tubuh harum yang hendak berangkat kerja, kuliah, sekolah, dan sebagainya. “Kenapa, ya wajah mereka terlalu tenang? Tidakkah ada seorang di antara mereka yang terlambat? Apakah hanya aku seorang? Oh, dunia memang kejam!” ucapnya dalam hati.

Harusnya bis kota itu sudah tiba beberapa menit yang lalu. Biasanya bis kota itu berangkat dari terminal setiap 10 menit sekali, harusnya bis kota itu tiba di halte setiap 15 menit sekai. Selambat-lambatnya 18 menit sekali. Si jaket merah sudah sangat hafal dengan bis kota berwarna ungu bertuliskan PO DEBORAH itu. Hampir setiap hari ia menaikinya. Panas hujan, pagi petang, ia menaikinya untuk pergi ke kampus. Pagi ini, bis kota itu tak sesuai dengan perhitungannya. Sudah 25 menit ia menunggu.

“Hari ini memang hari sialku, selamat mampus, Nadhmi…!” lagi, ia mengucap dalam hati.

Nadhmi, itu lah nama indahnya. Ibu dan bapaknya berangan-angan anaknya menjadi seseorang yang tahu aturan dan disiplin, seperti arti namanya yang diambil dari Bahasa Arab. Namun, kenyataannya Nadhmi tak tahu kata disiplin, tak pernah tepat waktu, terlalu berbanding terbalik dari namanya.

Ketika akhirnya bis kota yang ia tunggu tiba menghampiri halte, ia pun menyetopnya dan melangkah ke dalamnya dengan sigap. Hap! Lalu untuk memanjakan matanya yang masih mengantuk, ia memilih kursi di pojok kanan paling belakang. Sambil memejamkan matanya, ia berdoa agar tak ada pengamen yang mendendangkan lagu Wali, Kangen Band, Armada, atau sejenisnya, sehingga ia dapat terlelap.

“Tuhanku yang baik, semoga tak ada pengamen yang…” doanya terhenti tiba-tiba.

“Selamat pagi para penumpang yang berbahagia, mohon maaf mengganggu waktu anda sejenak…”

Seorang pengamen menyapa di sisi depan bis kota. Ia memakai kaos The Beatles berwarna hitam yang sudah lusuh, celana jeans, dan sepatu keds berwarna merah.

dariwarga_cerita si jaket merah_tulisan merre_03

Nadhmi baru saja akan kembali memaki dalam hati, namun semua urung dilakukannya saat mendengar pengamen itu bernyanyi.

When I find myself in times of trouble,

mother Mary comes to me,

speaking words of wisdom, let it be…

Alunan gitarnya, suaranya, dan The Beatles-nya, membuat Nadhmi tak mengantuk lagi. Saat itu juga ia tahu, ia terpesona dengan si kurus pengamen jalanan berkaos The Beatles. Karena kupingnya terlalu muak dengan lagu-lagu yang didendangkan pengamen lain setiap ia naik bis kota. Semua sama, kecuali yang satu ini. Yang satu ini bisa membuatnya berhenti memaki nasib dan keterlambatannya hari itu dan hari-hari berikutnya, karena ia selalu dibuat terkejut oleh manisnya ‘street acoustic’ ala Mas Kurus pengamen Deborah.

***

Sudah satu bulan Nadhmi mencari sebuah sosok. Harusnya mudah sekali menemukannya. Harusnya ia ada di tempat yang sama seperti biasanya. Tapi dia tidak muncul lagi dan Nadhmi hanya bisa menunggu suatu hari pendengarannya dimanjakan lagi oleh sosok kurus tinggi dan lusuh itu.

Belakangan ini ia mulai hafal kembali lagu-lagu band ibukota yang sebenarnya tak mau ia hafal dan tak suka ia dengar. Tapia pa boleh buat, karena terlalu sering didendangkan oleh para pengamen di dalam bis kota, mau tak mau masuk juga di kepalanya.

dariwarga_cerita si jaket merah_tulisan merre_04

Nadhmi menarik resleting jaket merahnya karena pagi itu Jakarta diguyur hujan. Hari ini ia tidak dapat jatah duduk di bis kota menuju Depok itu. Terpaksa ia berdiri dengan tangan kanan memegang tiang di atasnya dan tangan kiri mengapit tas yang cukup berat serta lembaran kertas skripsi bab 4-nya.

“Tuhan, Engkau tahu aku suka hujan… Tapi bukan di saat seperti ini. Karena aku tidak bisa minum kopi sambil menikmati rintiknya turun…” ucap Nadhmi dalam hati.

Sekelebat ia merasa melihat sesuatu. Sesosok wajah bertopi sedang mengejar bis kotanya. Ah, itu dia yang Nadhmi cari! Dan kini ia menemukannya kembali. Si pengamen pujaan.

“Let me take you down, to the strawberry fields…”

Nadhmi tersenyum diam-diam mendengar lantunan merdu pengamen itu. Setelah ia selesai membawakan lagu, Nadhmi memberanikan diri bertanya padanya,

“Ke mana aja, Bang?”

“Oh, saya habis sakit,” jawab si pengamen sedikit kaget.

Percakapan itu begitu singkat dan cepat, hingga orang-orang sekitarnya tak sempat menghiraukan. Dan sejak hari itu hingga seterusnya Nadhmi tak pernah dibuat mencari. Karena ia selalu menemukan sosok pengamen itu bernyanyi dalam bis kota.

Tapi tak pernah ada percakapan lagi di antara mereka. Hanya sebatas eye contact, atau senyum mengagumi dari bibir Nadhmi.

***

Hari ini adalah hari besar untuk Nadhmi. Ia diterima bekerja di salah satu perusahaan advertising di Cikini. Untuk hari besarnya, ia tak mau terlambat. Tapi tidak pada kenyataannya. Nadmi tetap terlambat dan berlari kecil dengan tas baru hadiah dari ibunya tercinta. Ada sedikit yang berubah, ia tak lagi memakai jaket merahnya. Nadhmi baru menyadari, jaket merahnya sudah tak lagi berwarna merah. Entah sudah apa warnanya karena terlalu sering dipakai, dicuci, lalu dipakai lagi.

dariwarga_cerita si jaket merah_tulisan merre_05

Rutenya kini telah berbeda. Ia tak lagi naik Deborah. Kini ia harus menaiki Kopaja bernomor P20. Itu berarti ia harus kehilangan pengamen pujaannya. Kehilangan perjalanan yang menyenangkan dengan lantunan The Beatles yang tidak biasa ia temukan di bis kota. Tapi Nadhmi tidak larut dalam kehilangannya. Ia percaya kejutan lain akan datang di hidupnya.

Ternyata tidak terlalu mengejutkan seperti harapan Nadhmi. P20 melewati jalan besar ibukota yang macetnya bukan main. Kantor barunya terlalu memang mengejutkan, tapi juga menyebalkan. Karena rekan-rekan atasannya sedang sibuk produksi beberapa iklan sekaligus. Alhasil, Nadhmi seperti seorang anak magang yang belum dapat dipercaya. Sehingga kerjanya di kantor belum pada posisi sebenarnya. Maklum saja, fresh graduate dengan nilai pas-pasan dan dari kampus swasta pula.

Ia begitu labil belakangan ini. Ternyata, ia tidak cukup terbiasa dengan tidak mendengar lantunan si pengamen pujaannya. Ternyata tidak semudah itu melupakan kenangan-kenangan di Deborah. Ia rindu getaran hatinya saat kontak mata dengan pengamen pujaannya. Ia rindu tersenyum kecil sambil ikut bersenandung menyanyikan Strawberry Fields. Ia tahu ia sedang merindu.

dariwarga_cerita si jaket merah_tulisan merre_06

***

Hari ini ‘hari gajian’ Nadhmi. Membayangkan gaji pertama yang akan ia terima, membuatnya ingin cepat berangkat ke kantornya. Dan entah kenapa, ia ingin memakai jaket merahnya. Ia berencana berakhir pekan ke Dunia Fantasy sendirian lalu naik Kora-Kora. Mungkin Kora-Kora bisa membuat hatinya bergetar, walau bukan getaran itu yang sesungguhnya ia inginkan.

Setelah menempuh perjalanan cukup jauh, Nadhmi pun duduk manis di Kopaja P20 sambil menunggu mobil itu ngetem.

Di kepalanya, ia mematangkan rencana ke Dunia Fantasy. Sempat juga ia berpikir makan kepiting saus padang setelah pulang kerja nanti, atau membelikan ibu dan bapaknya sebuah baju baru dan martabak telor. Ah, Nadhmi benar-benar menanti hari ini!

***

Di luar sana, seseorang pun menanti hari ini. Ia tersenyum lebar menyambut pagi ini. Pagi ini akhir dari pencariannya. Ia telah menemukan lirik terakhir lagunya, sejak pandangan sekilas pagi dan malam kemarin.

Dengan mantap ia melangkahkan kakinya ke sana. Ke sebuah kotak persegi panjang bermesin, dengan nomor besar P20 terpampang di depan kacanya. Ia benar-benar yakin akan menemukannya.

“Selamat pagi para penumpang bis yang saya hormati. Maaf jika saya mengganggu kenyamanan anda semua. Saya harap anda dalam keadaan sehat dan bahagia, karena kita sudah lama tak jumpa…”

Matanya tertuju pada sesorang berjaket merah di bangku pojok belakang. “Nona, sadarkah anda kalimatku barusan untukmu seorang…” pikirnya dalam hati.

Ironisnya, si wanita berjaket merah yang membuat senyum dan semangatnya kembali kepada titik maksimal ternyata sedang terlelap dibuai udara pagi. Ia pun melantunkan lagu ciptaannya sambil berdoa semoga yang sedang terlelap bisa terjaga dan terpesona.

dariwarga_cerita si jaket merah_tulisan merre_07

“In a crowded place.. In a crowded place

I saw your pretty face with those jacket that suit you nicely…….”

Nona berjaket merah belum juga terjaga, justru semakin lelap dengan alunan gitar yang ia mainkan. Ia pun meneruskan lagunya hingga bait-bait terakhir.

I know it’s love, it’s a real love

Cause’ I search you everyday

I know it’s love, it’s a real love

Cause’ I’ve been hurt by losing you, my morning light..

I know it’s love, it’s a real love

That I can not reach cause it to high

But I thank to god,

I found you again last night..

***

Nadhmi baru sadar ternyata ia terlelap cukup lama dalam perjalanannya. Spontan, ia melihat ke jendela dan ternyata ia sudah berada di daerah Mampang. Nadhmi pun terdiam kembali sambil mengingat mimpi indahnya. Ia bermimpi pengamen pujaannya melantunkan lagu lagi untuknya.

dariwarga_cerita si jaket merah_tulisan merre_08

Jakarta, 5 Juni 2011

Mirra Febri Mellya

1056

Zikri iseng browsing di internet menelusuri laman-laman blog yang pernah kami buat bersama (Ageung, Zikri dan Merre). Nama blog itu lewatjamenam.blgospot.com. Dan satu artikel menarik ditemukan, sebuah tulisan yang bercerita tentang pengalaman kehilangan handphone di taksi, dan keajaiban si Bodas yang memiliki ingatan fotografis. Silahkan dibaca…! 😀

——————————————————————————————————————————-

dariwarga_gambar bodas-taksi_01

Pada Hari Rabu, tanggal 31 Mei 2011, pukul 14.00 WIB, aku pergi menjemput ponakanku, Bodas, yang bersekolah di daerah Cibubur. Dari Lenteng Agung aku menaiki angkot berwarna biru, bernomor 129 jurusan Pasar Minggu–Pal (Depok). Perjalanan waktu itu cukup macet, ditambah lagi angkotnya sering berhenti untuk menunggu penumpang lain.

Akhirnya, sekitar pukul 14.40, sampailah aku di Pal, tepat di depan Rumah Sakit Tugu. Perjalanku belum selesai sampai di Pal, aku masih harus menaiki angkutan untuk sampai di sekolah Bodas itu. Jika menaiki angkutan umum, aku harus naik angkot satu kali lagi dan setelah itu naik ojek. Yah, itu akan lebih memperlambat proses penjemputanku. Padahal, Bodas pulang sekolah pada pukul 14.30. Sudah dipastikan aku terlambat. Aku pun memutuskan untuk menggunakan jasa Taksi.

Oh ya, sekolah Bodas itu adalah sekolah dengan sistem pendidikkan inklusi. Maksud dari pendidikkan inklusi adalah pelayanan pendidikan anak berkebutusan khusus yang dididik bersama-sama anak lainnya (normal) untuk mengoptimalkan potensi yang dimilikinya. Anak berkebutuhan khusus adalah anak dengan karakteristik khusus yang berbeda dengan anak muda pada umumnya tanpa selalu menunjukkan pada ketidakmampuan mental, emosi atau fisik.

Bodas termasuk anak berkebutuhan khusus, karena Bodas adalah anak penyandang autisma. Autisma adalah suatu kondisi seseorang sejak lahir ataupun saat masa balita yang membuat dirinya tidak dapat membentuk hubungan sosial atau komunikasi yang normal. Banyak yang bilang, penyandang autisma adalah anak yang mempunyai dunianya sendiri. Nah, di klinik milik sekolah ini, Bodas mendapatkan terapi yang membantu dia untuk lebih mudah membentuk hubungan sosial dan komunikasi secara normal.

Taksi pun tak kunjung lewat di depanku. Baru pada sekitar pukul 15.00, akhirnya taksi yang tak kunjung datang itu, lewat juga. Tangan kulambaikan untuk menyetop taksi itu, namun taksi itu enggan mengantar ke daerah yang kutuju. Aku pun segera menelepon pihak sekolah Bodas, untuk memberitahu kalau aku terlambat menjemput sambil memaki supir taksi itu dalam hati. Aku pun memutuskan untuk naik angkot bernomor 41 dan berhenti di seberang pusat perbelanjaan besar. Sebab, menurutku mobilisasi taksi yang lewat pasti akan lebih sering. Dan memang benar, ternyata banyak taksi yang lewat. Sekitar pukul 15.10, sebuah taksi berwarna kuning lewat di seberang jalan. Aku langsung melambaikan tangan dan memintanya untuk memutar balik jalan ke arahku. Duduklah aku dalam taksi itu dan segera meluncur ke sekolah.

15.20, aku sampai di sekolah. Sekitar sepuluh menit-an aku berada di sekolah untuk mengobrol dengan guru sambil menunggu Bodas memakai sepatu dan langsung meluncur ke klinik di Kelapa Dua.

Aku langsung menyuapi Bodas dengan bekal yang aku beli di rumah makan padang di sekitar klinik. Pukul 16.00, bel berbunyi, tanda jadwal terapi Bodas akan dimulai. Ketika aku akan menghubungi kakakku (ibu dari Bodas) via ponsel, telepon genggamku yang biasa kusimpan di kantong celana tidak ada pada tempatnya. Aku cari-cari di dalam tas, tidak ada juga. Lalu aku ingat-ingat terakhir kali aku menggunakan telepon genggam itu. Yah, terakhir kali aku menerima telepon dari kakakku ketika aku masih dalam taksi. Aku pun yakin kalau telepon genggamku tertinggal di taksi.

Aku langsung turun ke bawah dan menemui satpam, untuk menanyakan wartel terdekat. Pak Satpam tidak tahu di mana wartel atau warnet terdekat. Lalu dia menawarkan untuk menelepon melalui telepon klinik. Bodohnya, aku tidak hafal nomor teleponku sendiri. Aku pun kembali naik ke atas untuk meminta nomor telepon kakakku ke salah seorang terapis Bodas. Dapatlah nomor telepon kakakku, dan langsung aku menghubunginya untuk menanyakan  nomor teleponku sendiri. Setelah mendapat nomor teleponku, aku langsung menghubunginya. Sebelumnya, aku bertanya kepada Bodas, berapa nomor seri yang tertera pada pintu taksi yang kami naiki tadi. Siapa tahu dia ingat karena dia sangat terobsesi dengan angka-angka.

“Bodas, tadi taksinya nomor berapa, ya?”

“1…0…5…6..”

“Masa sih?” Aku sedikit tidak yakin dengan jawaban Bodas.

“Benar, 1056.” Bodas meyakinkan. Namun aku masih tidak percaya.

Kemudian aku lekas turun untuk menelepon.

Dan ternyata langsung dijawab oleh sang supir taksi tadi.

“Bu, ini hp-nya ketinggalan!”

“Iya, Pak. Bapak bisa balik lagi gak ke tempat yang tadi?” Aku merasa sedikit lega.

“Wah, Bu, saya sudah di pool. Mending ibu aja yang ke sini, nanti saya simpan hp-nya di satpam!”

“Di mana pool-nya, Pak?”

“Di Depok, Simpangan Depok.”

Aku langsung meluncur ke Simpangan Depok dengan dua kali ganti angkot. Sampailah aku di pool taksi itu. Menyeberang jalan, memasuki pool taksi dan langsung mencari pos satpam. Dari pos satpam, aku diantar menuju satu ruangan. Di sana telah duduk seorang laki-laki berkemeja merah, aku memanggilnya Bapak. Sebelum aku bisa mendapatkan telepon genggamku kembali, ternyata harus ada prosedur yang dikerjakan. Mengisi sebuah surat pernyataan pengembalian barang, setelah selesai mengisi surat dan menandatanganinya. Aku sempat bertanya nomor seri yang tertera di pintu taksi yang tadi kami naiki. Si Bapak menjawab ‘1056’. Karena aku tidak yakin dengan jawaban Bodas, aku pun tidak sadar bahwa nomor seri taksi itu sama seperti yang diucapkan Bodas. Aku pun berpamitan pulang.

Telepon genggam langsung aku simpan di dalam tas dan kembali menaiki angkot untuk menjemput Bodas. Aku sedikit terlambat ketika sampai di klinik. Bodas sudah selesai terapi sekitar lima menit yang lalu. Aku langsung ngobrol dengan Bu Jubay, terapis Bodas. Bu Jubay menceritakan bagaimana satu jam dilewati oleh Bodas sebagai laporan wajib setelah terapi.

Awal sesi, Bu Jubay meminta Bodas untuk menggambar dengan perintah:

“Coba Bodas, gambar Ageung kehilangan telepon genggam!”

Ajaibnya Bodas menggambar sebuah taksi dengan nomor pintu 1056. Padahal Bu Jubai mengira Bodas akan menggambar telepon genggam. Dan aku pun tidak bercerita langsung kepada Bodas, bahwa telepon genggamku telah tertinggal di taksi. Tapi Bodas ada di ruangan yang sama, saat aku bercerita kepada para terapisnya. Namun dia, sebagaimana umumnya anak autis, tidak pernah terlihat peduli. Namun itu mengindikasikan bahwa dia mampu merekam segala hal yang baik, karena aku tahu mereka memiliki kapasitas otak yang luar biasa terutama yang mberhubungan dengan kemampuan visual.

dariwarga_gambar bodas-taksi_02

Lenteng Agung, 21 Juli 2011

Ageung (dan gambar oleh Bodas)

Mie Ayam SUROBOYO

Warung Mie Ayam SUROBOYO.
Warung Mie Ayam SUROBOYO.

“Makan mie ayamkah kita, Mbak?” tanyaku pada Mbak Eka dan Mbak Retno.

“Ayo, mie ayam mana? Aku sekalian mau cari kue ulang tahun,” Mbak Eka langsung semangat menanggapi ajakanku.

Gak bisa aku. Ada seminar nanti jam dua. Sampai malam taulah…” kata Mbak Retno (“Yaaah, Mbak Retno gak bisa ikut,” keluhku dalam hati).

“Ya, sudah! Gak usah pergi aja. Gimana kalau jumat aja?”

“Yah, Mbak, keburu ngeces aku. Sudah dari Hari Jumat yang lalu, kita gak jadi makan mie ayam.”

Denah lokasi Warung Mie Ayam SUROBOYO.
Denah lokasi Warung Mie Ayam SUROBOYO.

Sepulang sekolah, kami berangkat tanpa Mbak Retno. Sebenarnya, sih tadinya kami tidak jadi pergi makan mie ayam. Aku hanya mengantar Mbak Eka pergi mencari kue. Tapi di perjalanan, Mbak Eka mengajakku makan. Dia tahu, di sekolah aku tidak ikut makan karena memang sudah berniat mau makan mie ayam.

Selesai membeli kue, dengan semangatnya aku menuju warung pangsit mie ayam + bakso SUROBOYO. Meskipun lokasi warungnya masuk ke dalam gang, cukup mudah bagiku untuk menemukannya. Patokannya, di Jalan Jendral Sudirman, gangnya terletak di antara Gedung BRI dan Mesjid Agung At-Taqwa.

Suasana di dalam warung Mie Ayam SUROBOYO.
Suasana di dalam warung Mie Ayam SUROBOYO.

Wah, warungnya ramai! Kami sampai tidak kebagian kursi. Mbak Eka sempat mengajakku makan di tempat lain, tetapi aku meminta agar kamu mau menunggu sebentar lagi saja. Lagi pula, ada yang sudah mau selesai makan, kok! Sekitar lima menit, kami menunggu dan akhirnya kebagian kursi juga. Saat itu, ada banyak karyawan yang sedang makan siang di sana. Sambil menunggu, aku sempat jepret-jepret menggunakan kamera ponselku dan beberapa orang mulai melirik ke arah kami.

Si mas pnjual mi ayam sedang meracik mie ayam.
Si mas pnjual mi ayam sedang meracik mie ayam.

Biasanya orang yang berjualan di tempati adalah bapak-bapak. Aku biasa memanggilnya Pak Lek. Akan tetapi sudah beberapa bulan ini, orang yang menjualnya adalah mas-mas, dan sekarang malah ada ibu-ibu. Ibu yang kumaksud itu sibuk mondar-mandir mengantar pesanan. Kalau aku perhatikan, ibu ini tugasnya khusus untuk membuatkan minum dan mengantar pesanan. Sedangkan mas-mas yang ternyata keponakan si ibu, tugasnya adalah meracik mie ayam.

“Mas, mie ayamnya dua, yang satu setengah porsi aja!” Mbak Eka mulai memesan.

“Loh, Mbak Eka katanya mau pesan minum aja, kan tadi sudah makan di TK!” kataku, sementara Mbak Eka malah senyum-senyum saja menanggapi olokanku.

“Kan cuma setengah porsi?! Gak apa-apa lah…” katanya. Aku maklum, lagi pula siapa, sih yang bisa tahan dari godaan mie ayam.

Mas penjual mie ayam yang enggan disebut namanya (tapi tak enggan difoto).
Mas penjual mie ayam yang enggan disebut namanya (tapi tak enggan difoto).

Saat kami duduk, pelanggan yang tadinya memenuhi warung sudah mulai selesai makan. Waktu jam makan siang sudah hampir habis. Padahal, aku belum sempat mewawancarai salah satu dari mereka. Baiklah, tidak apa-apa! Masih ada ibu dan mas penjualannya.

Catatan lapangan Alit mengenai Mie Ayam SUROBOYO.
Catatan lapangan Alit mengenai Mie Ayam SUROBOYO.

Aku sempat menanyakan nama keduanya. Tapi bukannya menjawab, mereka malah senyum-senyum. Ya, apalah arti sebuah nama?! Yang penting, aku dikasih izin sama ibunya buat nanya-nanya. Karena Zikri, yang biasa kupanggil Uda, belum mengirimkan daftar pertanyaan yang dijadikan bahan wawancara, jadi aku pakai pertanyaan darurat dan catatan darurat.

Ternyata, Pak Lek yang biasanya melayani pesanan pelanggan itu adalah saudara dari suaminya ibu penjual mie ayam yang sedang kuajak ngobrol, dan sekarang dia sedang pulang kampung. Ibunya tetap tidak mau menyebutkan nama. Saat kutanya tahun berapa ia mulai berjualan, ibunya sempat bingung, lalu dia menjawab, “Mungkin sudah sekitar sepuluh tahun yang lalu.”

Catatan lainnya yang kudapat adalah meskipun ibu dan bapak pemilik warung ini bukan asli orang Surabaya, kota asal mereka bertetangga dengan Surabaya, yaitu sang ibu dari Jombang, dan sang bapak dari Pacuan (Malang). Mie Ayam + Bakso Suroboyo ini mereka buat sendiri, alias tidak beli mie yang sudah jadi dari pabrik mie.

Sajian mie ayam SUROBOYO.
Sajian mie ayam SUROBOYO.

Siang itu, ada yang kurang rasanya. Kekuarangan itu juga dirasakan oleh Mbak Eka dan langsung di tanyakan kepada si ibu. Dan ternyata, pangsitnya tidak ada. Wah, padahal itu bagian penting dari rasa!

“Pak Dhe yang buat pangsit sedang sakit, jadi kerupuk dan pangsitnya tidak ada,” kata si ibu.

Biasanya, dalam semangkuk mie ayam ini terdapat pangsit basah (bakwan), mie suroboyo, acar, bawang goreng dan suwiran ayam (bukan semur ayam). Jangan lupa pentolan!!! Di Balikpapan, biasanya bakso yang ukurannya kecil-kecil di sebut pentolan. Lalu, tinggal kita tambahkan sambel, saus, dan kecap sesuai selera. Di warung mie ayam ini, juga disediakan cabe rawit utuh. Nah, cocok, tuh buat penggemar pedas!

Saat aku membayar mie ayam, datang seorang pelanggan yang kelihatannya ramah. Dan ternyata memang beneran ramah, meskipun si pelanggan yang merupakan seorang ibu itu sedikit pemalu (Ia juga tidak mau menyebutkan nama dan difoto). Pelanggan yang baru tiba ini adalah seorang guru TK juga, sama sepertiku. Ibu ini cukup sering makan di warung Mie Ayam Suroboyo karena lokasinya searah dengan rute ke pasar. Setiap pulang mengajar, biasanya ibu ini pergi ke Pasar Klandasan dan kadang mampir ke warung mie ayam.

“Rasanya pas untuk kelas ekonomi makanya sering kemari,” katanya. “Tapi tempatnya kurang luas…tapi unik, sih!”

Nah, aku tidak tahu, tuh uniknya sebelah mana. Yang aku tahu, rasanya enak dan menurutku harganya cukup murah, yakni seharga Rp. 11.000/porsi dan Rp.7.000/setengah porsi. Dengan ibu itu, aku juga sempat berbincang-bincang tentang per-TK-an.

Para pelanggan sedang memesan dan membayar mie ayam.
Para pelanggan sedang memesan dan membayar mie ayam.

Saat asik berbincang-bincang dengan si ibu guru TK, aku kehilangan Ibu penjual mie ayam. Si mas penjual mie ayam mengatakan bahwa ibunya sedang sholat dulu di Mesjid Agung At-Taqwa. Padahal, masih ada pertanyaan yang ingin aku ajukan. Ya, sudahlah! Mungkin lain kali saja. Cukup sekian dulu untuk Mie Ayam Suroboyo-nya, ya. Sampai jumpa di kisah mie ayam selanjutnya. Selamat makan mie ayam. 😉

Balikpapan, 2 September 2013

Aliet