Satu lagi arsip lama di blog lewatjamenam.blogspot.com. Kali ini tulisan yang indah karya Merre, lengkap dengan ilustrasi-ilustrasinya yang ekspresif. Silahkan dibaca, teman-teman! 😀
———————————————————————————————————————————-
Si jaket merah dan rambutnya yang masih setengah basah berlari kecil ke luar dari pagar rumahnya. Tiap pagi pukul setengah delapan kerjanya hanya berpikir sambil berlari, “Kenapa harus telat setiap hari selalu telat…”.
Dan tiap pagi juga, pikirnya itu hanya sebatas pikiran, tak pernah berkelanjutan jadi sebuah perubahan yang signifikan.
***
Setelah 85 langkah menjauhi pagar, sebuah angkutan kota telah menunggunya seperti biasa. Dengan tangan berayun-ayun si supir batak mengajaknya untuk segera masuk. “Empat enam empat enam…!” wajah keras berkumis tipis itu berkomat-kamit menyuruh penumpang duduk merapat.
Si jaket merah turut serta merapat di dalamnya. Kemudian ia mulai gelisah, mengutuk jarum jam yang berpindah terlalu cepat. Matanya masih mengantuk, bahkan saat angkot itu berhenti di tempat yang ia tuju. Langkahnya pelan tak lagi semangat, karena ia sudah terlalu terlambat.
Lebak Bulus, Tangerang Selatan. Itu lah tempat ia berdiri kini. Di sebuah halte bersama tubuh-tubuh harum yang hendak berangkat kerja, kuliah, sekolah, dan sebagainya. “Kenapa, ya wajah mereka terlalu tenang? Tidakkah ada seorang di antara mereka yang terlambat? Apakah hanya aku seorang? Oh, dunia memang kejam!” ucapnya dalam hati.
Harusnya bis kota itu sudah tiba beberapa menit yang lalu. Biasanya bis kota itu berangkat dari terminal setiap 10 menit sekali, harusnya bis kota itu tiba di halte setiap 15 menit sekai. Selambat-lambatnya 18 menit sekali. Si jaket merah sudah sangat hafal dengan bis kota berwarna ungu bertuliskan PO DEBORAH itu. Hampir setiap hari ia menaikinya. Panas hujan, pagi petang, ia menaikinya untuk pergi ke kampus. Pagi ini, bis kota itu tak sesuai dengan perhitungannya. Sudah 25 menit ia menunggu.
“Hari ini memang hari sialku, selamat mampus, Nadhmi…!” lagi, ia mengucap dalam hati.
Nadhmi, itu lah nama indahnya. Ibu dan bapaknya berangan-angan anaknya menjadi seseorang yang tahu aturan dan disiplin, seperti arti namanya yang diambil dari Bahasa Arab. Namun, kenyataannya Nadhmi tak tahu kata disiplin, tak pernah tepat waktu, terlalu berbanding terbalik dari namanya.
Ketika akhirnya bis kota yang ia tunggu tiba menghampiri halte, ia pun menyetopnya dan melangkah ke dalamnya dengan sigap. Hap! Lalu untuk memanjakan matanya yang masih mengantuk, ia memilih kursi di pojok kanan paling belakang. Sambil memejamkan matanya, ia berdoa agar tak ada pengamen yang mendendangkan lagu Wali, Kangen Band, Armada, atau sejenisnya, sehingga ia dapat terlelap.
“Tuhanku yang baik, semoga tak ada pengamen yang…” doanya terhenti tiba-tiba.
“Selamat pagi para penumpang yang berbahagia, mohon maaf mengganggu waktu anda sejenak…”
Seorang pengamen menyapa di sisi depan bis kota. Ia memakai kaos The Beatles berwarna hitam yang sudah lusuh, celana jeans, dan sepatu keds berwarna merah.
Nadhmi baru saja akan kembali memaki dalam hati, namun semua urung dilakukannya saat mendengar pengamen itu bernyanyi.
When I find myself in times of trouble,
mother Mary comes to me,
speaking words of wisdom, let it be…
Alunan gitarnya, suaranya, dan The Beatles-nya, membuat Nadhmi tak mengantuk lagi. Saat itu juga ia tahu, ia terpesona dengan si kurus pengamen jalanan berkaos The Beatles. Karena kupingnya terlalu muak dengan lagu-lagu yang didendangkan pengamen lain setiap ia naik bis kota. Semua sama, kecuali yang satu ini. Yang satu ini bisa membuatnya berhenti memaki nasib dan keterlambatannya hari itu dan hari-hari berikutnya, karena ia selalu dibuat terkejut oleh manisnya ‘street acoustic’ ala Mas Kurus pengamen Deborah.
***
Sudah satu bulan Nadhmi mencari sebuah sosok. Harusnya mudah sekali menemukannya. Harusnya ia ada di tempat yang sama seperti biasanya. Tapi dia tidak muncul lagi dan Nadhmi hanya bisa menunggu suatu hari pendengarannya dimanjakan lagi oleh sosok kurus tinggi dan lusuh itu.
Belakangan ini ia mulai hafal kembali lagu-lagu band ibukota yang sebenarnya tak mau ia hafal dan tak suka ia dengar. Tapia pa boleh buat, karena terlalu sering didendangkan oleh para pengamen di dalam bis kota, mau tak mau masuk juga di kepalanya.
Nadhmi menarik resleting jaket merahnya karena pagi itu Jakarta diguyur hujan. Hari ini ia tidak dapat jatah duduk di bis kota menuju Depok itu. Terpaksa ia berdiri dengan tangan kanan memegang tiang di atasnya dan tangan kiri mengapit tas yang cukup berat serta lembaran kertas skripsi bab 4-nya.
“Tuhan, Engkau tahu aku suka hujan… Tapi bukan di saat seperti ini. Karena aku tidak bisa minum kopi sambil menikmati rintiknya turun…” ucap Nadhmi dalam hati.
Sekelebat ia merasa melihat sesuatu. Sesosok wajah bertopi sedang mengejar bis kotanya. Ah, itu dia yang Nadhmi cari! Dan kini ia menemukannya kembali. Si pengamen pujaan.
“Let me take you down, to the strawberry fields…”
Nadhmi tersenyum diam-diam mendengar lantunan merdu pengamen itu. Setelah ia selesai membawakan lagu, Nadhmi memberanikan diri bertanya padanya,
“Ke mana aja, Bang?”
“Oh, saya habis sakit,” jawab si pengamen sedikit kaget.
Percakapan itu begitu singkat dan cepat, hingga orang-orang sekitarnya tak sempat menghiraukan. Dan sejak hari itu hingga seterusnya Nadhmi tak pernah dibuat mencari. Karena ia selalu menemukan sosok pengamen itu bernyanyi dalam bis kota.
Tapi tak pernah ada percakapan lagi di antara mereka. Hanya sebatas eye contact, atau senyum mengagumi dari bibir Nadhmi.
***
Hari ini adalah hari besar untuk Nadhmi. Ia diterima bekerja di salah satu perusahaan advertising di Cikini. Untuk hari besarnya, ia tak mau terlambat. Tapi tidak pada kenyataannya. Nadmi tetap terlambat dan berlari kecil dengan tas baru hadiah dari ibunya tercinta. Ada sedikit yang berubah, ia tak lagi memakai jaket merahnya. Nadhmi baru menyadari, jaket merahnya sudah tak lagi berwarna merah. Entah sudah apa warnanya karena terlalu sering dipakai, dicuci, lalu dipakai lagi.
Rutenya kini telah berbeda. Ia tak lagi naik Deborah. Kini ia harus menaiki Kopaja bernomor P20. Itu berarti ia harus kehilangan pengamen pujaannya. Kehilangan perjalanan yang menyenangkan dengan lantunan The Beatles yang tidak biasa ia temukan di bis kota. Tapi Nadhmi tidak larut dalam kehilangannya. Ia percaya kejutan lain akan datang di hidupnya.
Ternyata tidak terlalu mengejutkan seperti harapan Nadhmi. P20 melewati jalan besar ibukota yang macetnya bukan main. Kantor barunya terlalu memang mengejutkan, tapi juga menyebalkan. Karena rekan-rekan atasannya sedang sibuk produksi beberapa iklan sekaligus. Alhasil, Nadhmi seperti seorang anak magang yang belum dapat dipercaya. Sehingga kerjanya di kantor belum pada posisi sebenarnya. Maklum saja, fresh graduate dengan nilai pas-pasan dan dari kampus swasta pula.
Ia begitu labil belakangan ini. Ternyata, ia tidak cukup terbiasa dengan tidak mendengar lantunan si pengamen pujaannya. Ternyata tidak semudah itu melupakan kenangan-kenangan di Deborah. Ia rindu getaran hatinya saat kontak mata dengan pengamen pujaannya. Ia rindu tersenyum kecil sambil ikut bersenandung menyanyikan Strawberry Fields. Ia tahu ia sedang merindu.
***
Hari ini ‘hari gajian’ Nadhmi. Membayangkan gaji pertama yang akan ia terima, membuatnya ingin cepat berangkat ke kantornya. Dan entah kenapa, ia ingin memakai jaket merahnya. Ia berencana berakhir pekan ke Dunia Fantasy sendirian lalu naik Kora-Kora. Mungkin Kora-Kora bisa membuat hatinya bergetar, walau bukan getaran itu yang sesungguhnya ia inginkan.
Setelah menempuh perjalanan cukup jauh, Nadhmi pun duduk manis di Kopaja P20 sambil menunggu mobil itu ngetem.
Di kepalanya, ia mematangkan rencana ke Dunia Fantasy. Sempat juga ia berpikir makan kepiting saus padang setelah pulang kerja nanti, atau membelikan ibu dan bapaknya sebuah baju baru dan martabak telor. Ah, Nadhmi benar-benar menanti hari ini!
***
Di luar sana, seseorang pun menanti hari ini. Ia tersenyum lebar menyambut pagi ini. Pagi ini akhir dari pencariannya. Ia telah menemukan lirik terakhir lagunya, sejak pandangan sekilas pagi dan malam kemarin.
Dengan mantap ia melangkahkan kakinya ke sana. Ke sebuah kotak persegi panjang bermesin, dengan nomor besar P20 terpampang di depan kacanya. Ia benar-benar yakin akan menemukannya.
“Selamat pagi para penumpang bis yang saya hormati. Maaf jika saya mengganggu kenyamanan anda semua. Saya harap anda dalam keadaan sehat dan bahagia, karena kita sudah lama tak jumpa…”
Matanya tertuju pada sesorang berjaket merah di bangku pojok belakang. “Nona, sadarkah anda kalimatku barusan untukmu seorang…” pikirnya dalam hati.
Ironisnya, si wanita berjaket merah yang membuat senyum dan semangatnya kembali kepada titik maksimal ternyata sedang terlelap dibuai udara pagi. Ia pun melantunkan lagu ciptaannya sambil berdoa semoga yang sedang terlelap bisa terjaga dan terpesona.
“In a crowded place.. In a crowded place
I saw your pretty face with those jacket that suit you nicely…….”
Nona berjaket merah belum juga terjaga, justru semakin lelap dengan alunan gitar yang ia mainkan. Ia pun meneruskan lagunya hingga bait-bait terakhir.
I know it’s love, it’s a real love
Cause’ I search you everyday
I know it’s love, it’s a real love
Cause’ I’ve been hurt by losing you, my morning light..
I know it’s love, it’s a real love
That I can not reach cause it to high
But I thank to god,
I found you again last night..
***
Nadhmi baru sadar ternyata ia terlelap cukup lama dalam perjalanannya. Spontan, ia melihat ke jendela dan ternyata ia sudah berada di daerah Mampang. Nadhmi pun terdiam kembali sambil mengingat mimpi indahnya. Ia bermimpi pengamen pujaannya melantunkan lagu lagi untuknya.
Jakarta, 5 Juni 2011
Mirra Febri Mellya