Ibu Tukang Pijit

Ilustrasi-ibu-tukang-pijit_Dariwarga_17-12-2014-Dian-Komala

Hari yang cerah di tengah-tengah seringnya hujan turun beberapa bulan ini. Matahari terang benderang membuat butir-butir keringat terjun langsung dari pipi ke lehernya. Terkantuk-kantuk, di tangannya masih ada jarum dan sehelai kain. Menyulam adalah pekerjaan hariannya. Berbagai macam sulaman ia kerjakan. Bahan sulaman ini datang dari sebuah agen pabrik garmen. Untuk satu helai kain, tak tentu harganya, tergantung dari kemudahan dan waktu pengerjaan. Sulaman yang sedang ia kerjakan bernilai tujuh ratus lima puluh rupiah per helai. Lama waktu pengerjaannya sekitar dua puluh menit. Ya, apalah daya!? Hanya itu yang bisa ia kerjakan sembari menunggu panggilan memijit dari orang lain.

Dulu, ia adalah seorang dukun beranak. Tapi sekarang, dukun beranak sudah tidak boleh beroperasi di wilayah Parungkuda. Meskipun begitu, ada satu-dua orang yang masih memakai jasanya untuk melahirkan. Ilegal? Sepertinya tidak. Dulu pun, sebelum ada dokter kandungan dan bidan, dukun beranak adalah satu-satunya pilihan. Sampai saat ini, dia tidak pernah gagal dalam melaksanakan tugasnya sebagai dukun beranak. Namun, tak semua orang mengandalkannya, yang lain lebih memilih puskesmas dekat rumah yang memiliki fasilitas dua puluh empat jam untuk melahirkan. Jadi, menyulamlah satu-satunya pilihan, sembari menunggu panggilan memijit. Banyak orang di kampung Parungkuda menjadi langganan pijitannya. Tapi tentu saja tidak setiap hari panggilan itu datang.

Rokok kreteknya sudah hampir habis dimakan bara, matanya masih saja terpejam.

“Assalamualaikum…!” sapa seseorang di depan pintu rumahnya.

“Tak ada uang hari ini. Doakan hari ini gajian sulam keluar!” jawabnya tersentak, kaget karena sapaan seorang tukang kredit baju.

“Beneran, ya, Mak! Soalnya kemarin pun tidak bayar,” si Tukang Kredit pergi menjauh ke rumah yang lain, yang merupakan pelanggan baju kredit juga.

Matanya kembali menuju jarum dan kain yang masih ada di tangannya. “Sudah ashar, baru dapat lima belas?!” keluhnya.

Dengan cekatan, dia memasukan manik-manik berbentuk piring kecil dan memasangkannya ke kain, tepat seperti permintaan agen. Di luar, terlihat sesosok pria yang sangat ia kenal. Suaminya baru pulang dari rombongan pariwisata ibu-ibu ziarah. “Lumayan untuk bayar nanti sore,” gumamnya.

Suaminya seorang kondektur bus pariwisata. Bayaran dari pekerjaan ini pun tidak dapat memenuhi kebutuhan sehari-hari keluarga mereka. Bayarannya lumayan, tetapi panggilan pariwisata itu juga tak datang di setiap minggu. Kadang, bisa sampai sebulan lamanya, panggilan ibu-ibu untuk berlibur berziarah ke makam-makam wali di luar kota tak kunjung datang. Mereka masih punya tanggung jawab agar si bungsu dapat lulus sekolah menengah kejuruan: harapan terakhir untuk memperbaiki perekenomian keluarga.

“Assalamualaikum, Mak!” sosok pria paruh baya berjaket kulit dan buku di tangan datang.

“Sebentar, ya, Aa!” jawabnya sambil berjalan menuju kamar, tempat suaminya berada. Tak lama, dia kembali menuju pria itu dengan lembaran-lembaran uang di tangan. “Nih, A!”

Pria itu menerima uang sebesar tiga puluh lima ribu rupiah. Mencatat di buku dan menyobek kertas bernomor tiga belas. Kertas sobekan itu dia berikan kepada si Ibu.

“Wih, sudah tiga belas! Bisa dibarukan dong?! Butuh untuk bayar anak sekolah, nih, A! Lima ratus saja, bisa?” tanya si Ibu

“Saya tanya sama si Bos dulu, ya, Mak! Soalnya, Mak, sempat bolong-bolong angsurannya,” jawab si pria.

“Oke, deh…! Tapi diusahakan, ya…!”

“Saya permisi dulu. Assalamualaikum!”

“Waalaikum salam!”

Si pria itu pergi dengan sepeda motornya. Si Ibu lalu bergegas menuju dapur, membuat secangkir kopi hitam untuk sang suami. Beberapa menit kemudian, ia kembali tenggelam dalam sulamannya.

Sekarang panas terik sudah tertutup awan-awan mendung. Ia harus segera menyetorkan sulaman ini, sebelum hujan turun. Melipat satu per satu kain yang telah selesai disulam; dua puluh helai kain telah selesai ia kerjaan. “Tak apa hari ini cuma dapat dua puluh…,” ujarnya pada diri sendiri.

Kemudian ia memasukkan kain-kain itu ke dalam kantong plastik besar berwarna merah. Menggendongnya di punggung, dan berjalanlah ia sambil bersenandung lagu dangdut dari penyanyi kondang Rita Sugiarto, “Cantik memang aku akui. Usia muda pun ia miliki……….. Baju baru kau sayang-sayang. Kain lapuk kau buang-buang…..!

Harapan satu-satunya ketika ia kembali dari mengantar sulaman adalah uang upahnya yang dapat ia bawa esok hari untuk membayar janji yang telah ia sepakati bersama ibu-ibu tetangganya.

Parungkuda, 16 Desember, 2014
Dian Ageung Komala

Tinggalkan komentar