Ibu Bawel

“Sakitnya tuh di sini, di dalam hati…” penggalan lagu dangdut terdengar dari telepon genggamnya, tanda panggilan dari seseorang. Si pemilik telepon mendiamkannya saja. Sudah lima panggilan, sengaja tak dijawab olehnya. Dering telepon membuatnya teringat akan hutang piutang di kampungnya. Si penelepon adalah seorang rentenir terkenal di kampung itu.

Warung nasi yang sedang ia kelola dibangun dari modal pinjaman. Rentenir itu adalah salah satu penolongnya pada waktu memulai usaha. Penolong dengan rangkaian bunga yang semakin menggunung. Belum lagi hutang-hutang yang lalu. Hmm…! Semuanya harus dilunasi segera dengan hasil jualan ini. Sebagian hutangnya ia emban sendiri, tak tega membebani anak-anaknya.

“Bu, makan! Pakai kentang dan ayam goreng, ya! Jangan lupa sambalnya!”

Lamunannya tersentak. Bergegas dia mengambil piring dan menuangkan satu per satu pesanan pembelinya.

“Eh, si Aa! Sehat, A?” tanyanya kepada langgananya.

“Alhamdulillah, sehat, Bu. Makin ramai, ya, warungnya?” jawab pelanggan itu sambil mengunyah makanannya.

“Kemana aja, A? Sudah lama tidak kelihatan. Kemarin, Ibu lihat temannya itu, si Damar.”

“Saya kemarin niatnya mau pulang kampung, eh di sana saya sakit. Baru seminggu yang lalu saya sehat. Makanya saya ke sini. Mau jual motor, hahaha! Butuh dana untuk biaya berobat kemarin,” keluh si pelanggan.

“Motor apa emangnya? Berapa maunya? Surat-suratnya lengkap?” tanyanya. Ada juga orang yang bisa diajak berbincang hari itu.

Beat, Bu. Lengkap, kok! Maunya, sih tiga juta. Ibu mau?” si pelanggan menjadi lebih bersemangat.

“Dua setengah, deh? Anak saya lagi merengek ingin motor.”

“Saya kabarin nanti, ya, Bu. Soalnya saya lagi perlu uangnya segitu.”

“Ya, udah! Kabarin ya, A!”

Si Ibu masuk ke dalam ruangan sempit di dalam warungnya. Di sana ada tempat tidur, kipas angin dan televisi. Berjalan menuju tas yang menggantung di dinding. Dibukanya tas itu. Tiga gepok uang berjumlah tiga juta tersimpan rapi di sana. Pada awalnya, uang itu akan ia gunakan untuk membayar cicilan kepada si penelepon tadi. Tapi niatnya tergoyang. Pikirannya mengawang membayangkan anak bungsunya berseragam sekolah mengendarai motor. Dilema.

Dia kembali ke warungnya menemui si pelanggan tadi. “Cepet kabarin, ya, A!” pintanya.

“Iya, Bu. Berapa semuanya?”

Setelah membayar, si pelanggan pergi meninggalkan warung, entah kemana. Si Ibu masih dalam dilema. Diraihnya telepon genggam mencari nomor kontak telepon. Ia akhirnya menelepon si penelepon yang sedari tadi tak kunjung ia jawab. Setelah berbasa-basi singkat, ia pun mengutarakan niatnya.

“Gini, Tante…, saya belum ada uang untuk bayar bulan ini. Bulan depan, ya, Bu, sekaligus bunganya!”

Di dalam percakapan melalui telepon itu, terjadi perdebatan yang cukup lama. Si Tante menyebutkan resiko-resiko yang harus ditanggung si Ibu. Bunga sebesar dua puluh persen dari sepuluh juta yang si Ibu pinjam. Bunga itu harus selalu ia bayar setiap bulannya, bila sepuluh juta itu belum ia lunasi.

“Iya, Bu! Di perjanjian awalnya begitu, saya mengerti. Itulah resiko yang harus saya bayar. Uang yang saya kumpulkan untuk membayar bunganya terpakai untuk biaya rumah sakit anak saya. Saya benar-benar minta maaf. Lagi pula, ini baru bulan kedua, bukan? Saya janji bulan depan pasti saya bayar bunga dan cicilan sepuluh jutanya.”

Si Tante tidak bisa berbuat apa-apa.

***

Hari ini adalah Hari Rabu. Sudah menjadi tugasnya untuk hadir setiap Hari Rabu. Bertemu dengan anak-anaknya dan ibu-ibu “grup berjanji”-nya. Hari ini, senyumnya merekah. Orang-orang di rumahnya pasti akan terkejut dengan kedatangannya, pikirnya. Ditemani dengan seorang kawan, ia mengendarai sepeda motor yang baru dibelinya. Anak-anaknya tersenyum ketika melihatnya turun dari  motor itu. Terutama si Bungsu, yang tersenyum lebih lebar dari yang lainnya.

Parungkuda, 23 Desember, 2014
Dian Ageung Komala

Tinggalkan komentar