bingkai dan layar, serta tiga dunia

Ageung, beberapa hari yang lalu, aku menyunting tulisan seorang kawan yang tinggal di Jakarta. Kamu tahu orangnya: pengamat filem, suka membaca buku, tetapi artikulasinya sering kali sulit dipahami. Bukan…! Kawan yang aku ceritakan itu bukan si aki-aki jahil—aku dan kamu juga tahu aki yang mana yang kumaksud—yang suka menyasarkan orang dengan petuah-petuah memukaunya. Tentu kamu tidak lupa dengan ruangan di atas perpustakaan, tempat kawan kita itu menghabiskan sebagian besar hari-harinya, membaca buku. Dan kamu juga tahu pasti, jika sudah mabuk, kawan kita ini bisa ngelantur sepanjang malam. Kamar itu kini sudah tidak ditempati oleh kawan kita. Dia sekarang pulang-pergi rumah-kantor, karena kantor tempat kami bekerja sudah berpindah tempat, sekitar lima belas menit jaraknya menggunakan angkot dari tempat yang dulu.

Berikut ini, kamu akan membaca tulisanku yang agak membingungkan. Akan tetapi, bacalah sesuai yang kamu pahami saja. Anggap saja ini adalah salah satu bentuk permainan komunikasi yang lain antara aku dan kamu.

Aku sejak dulu—walau memahami tulisannya sering membuatku kesal—mengagumi sudut pandang kawan kita itu dalam menilai karya filem. Terutama rujukan-rujukan yang digunakannya untuk menulis artikel kritik—ketahuilah, aku sering garuk-garuk kepala saat menyunting tulisannya dan harus memastikan nama penulis, judul buku, tahun, kota dan nama penerbit dari sumber yang dia kutip supaya cara penulisan sumber rujukannya menjadi baik—semuanya sangat menginspirasi. Aku belum punya kemampuan dan waktu seperti yang dia miliki untuk membaca buku-buku itu. Dalam tulisan-tulisannya, kawan kita ini piawai mengutip sebaris atau dua baris kalimat, atau mungkin separagraf, dari bahan yang dibacanya, lalu meletakkannya sebagai kuncian untuk memaparkan lebih jauh sudut penilaiannya. Aku tidak tahu, apakah pemandangan di dalam kamarnya di rumah, sekarang ini, sama seperti dengan kamar di atas perpustakaan kita yang dulu? Banyak buku-buku yang terbuka dan terlipat beberapa halamannya, dan beraroma tubuh laki-laki yang jarang mandi?

Pada tulisannya yang aku sunting beberapa hari lalu itu, dia mengutip pernyataan Bazin, yakni tentang perbedaan antara garis pinggir pada bingkai (atau frame) dan garis pinggir pada layar sinema (yang dihadapi penonton di dalam ruang gelap). Menurut teoretikus yang dikutip kawan kita ini, garis pinggir layar bukanlah bingkai dari citra filem (film image). Sebab, bingkai memiliki daya gaya sentripetal, sedangkan layar [sinema] memiliki daya gaya sentrifugal. Aku yakin kamu pasti tidak ingat dua gaya yang dimaksud Bazin itu. Hahaha! Aku juga tidak mengerti banyak tentang hal itu. Setelah kucari lebih jauh keterangan mengenai ini—dan karenanya aku menjadi ingat—dua istilah gaya itu ternyata merujuk pada ilmu fisika.

Menurut salah satu teori yang berhubungan dengan “gerak”, dua gaya itulah yang membuat benda bisa bergerak melingkar. Gaya sentripetal adalah gaya yang tarikannya menuju pusat lingkaran. Jika kita membayangkan sebuah lingkaran, benda yang bergerak pada orbit (atau garis tepi lingkaran itu) sesungguhnya mengalami tarikan menuju ke pusat. Wikipedia menyebut salah satu contoh dari gaya ini adalah gaya gravitasi. Sementara itu, gaya sentrifugal adalah lawannya, yakni gaya semu yang tarikannya menjauhi pusat lingkaran. Contohnya, jika kita menaiki wahana ontang-anting di Dufan, kita merasa seakan terlempar (dengan kata lain, kita merasakan adanya gaya yang seolah-olah menjauhi titik pusat dari ontang-anting itu). Gaya sentripetal yang mengarah ke dalam, dan gaya sentrifugal yang mengarah ke luar, dalam suatu gerak melingkar ini, membuat benda bergerak menjadi stabil.

Kita tidak usah berpanjang-panjang cerita soal dua gaya dalam ilmu fisika itu. Intinya, analogi yang digunakan Bazin itu menunjukkan perbedaan sifat dasar antara bingkai dan layar. Kawan kita, dalam tulisannya, menyebutkan bahwa yang dimaksud bingkai (frame) oleh Bazin itu, contohnya adalah lukisan yang terpajang di dinding—foto yang terpajang di dinding, mungkin, bisa menjadi contohnya juga.

Menurut pemahamanku saat ini—bisa jadi masih keliru, dan semoga nantinya aku bisa lebih mengerti lagi—gaya sentripetal atau “arah ke dalam” pada lukisan berarti bahwa “tegangan” visualnya ada di dalam bingkainya. Sementara itu, gaya sentrifugal atau “arah ke luar” pada layar berarti bahwa “tegangan” visualnya memiliki hubungan dengan dunia riil yang ada di semesta yang kita tempati ini. Mengapa demikian? Menurutku, ini mungkin berhubungan dengan jenis medium, sikap (attitude), dan proses berkarya, serta bentuk/cara penyajian karya yang dipilih si seniman (antara pelukis dan sutradara) dalam menciptakan “dunia representasi”. Sederhananya, medium dari citra bergerak (moving image) adalah kamera (filem), sedangkan lukisan adalah kanvas, kuas dan cat. Pelukis membuat “dunia representasi” (jika kamu bingung dengan istilah ini, cukup dipahami saja, bahwa “dunia representasi” adalah “dunia imajinasi” yang kita terima karena melihat visual pada lukisan atau layar sinema) melalui tangannya dengan cara melukis. Pelukis menuangkan tafsirannya secara baru di atas kanvas. Sementara itu, kameraman membuat “dunia representasi” melalui tangkapan kamera (ada aksi “jepret” dan “proses merekam”). Sementara pelukis “menuangkan” imajinasinya ke dalam sebuah bingkai lantas meletakkan (memajang)-nya di dinding, kameraman justru seakan “memotong” sebagian dunia riil kita dan memerangkapnya ke dalam bingkai lensa kamera, lalu diproses dalam editing, dan diproyeksikan ke layar tontonan (layar sinema). Dengan kata lain, visual yang kita lihat di layar sinema adalah “bagian” dari dunia riil kita meskipun ia sudah menjadi “dunia representasi” yang berbeda. Dalam pemahamanku ini, pelukis, sepertinya, tidak “memotong” dunia riil kita, tetapi “menciptakan” (mungkin, istilah Bahasa Inggrisnya adalah “to invent”). Sedangkan kameraman, dia “menangkap” sebagian dunia riil kita menggunakan kamera (dan mungkin istilah Bahasa Inggrisnya adalah “to capture”). Pada aksi yang dilakukan oleh kameraman, ada juga sisi “mencipta” (“to invent”)-nya, tetapi mungkin lebih berupa ide dan perspektif.

Pada fotografi, kita tahu bahwa seorang fotografer juga melakukan aksi “jepret”. Fotografer juga “memotong” sebagian dunia riil, seperti halnya yang dilakukan oleh pembuat filem. Akan tetapi, dalam tahap penyajiannya, foto tidak ditampilkan melalui layar, melainkan tetap sebagai bingkai citra (frame of image). Dengan kata lain, persoalan antara bingkai dan layar ini, pokok perbedaannya memang sangat terasa jelas dalam hal bagaimana sebuah karya visual itu disajikan ke hadapan orang-orang. Agaknya, dalam hal ini, sebelumnya kita perlu sedikit menekankan perbedaan antara citra (image) dan gambar (picture) meskipun orang-orang sering menganggapnya sama. Menurutku, proses penciptaan image oleh kamera adalah proses optikal (maksudku, perangkat optik; ada lensa) yang bergantung pada kontribusi cahaya. Aktivitas menggambar untuk membuat gambar (seperti menggores kertas, menyapu kuas di kanvas, mencukil kayu, memahat batu) tidak bergantung pada kontribusi cahaya. Sebab, kamera pada dasarnya bekerja dengan menangkap cahaya (atau, membekukan cahaya). Fotografi dan filem menjadi berbeda dalam hal penyajiannya, karena filem tetap bergantung pada kontribusi cahaya saat hendak ditampilkan, yakni proyeksi ke layar. Sementara itu, fotografi tidak begitu. Image foto tampil di dalam bingkai (bukan melalui proyeksi).

Itu perbedaan antara bingkai dan layar.

Ageung, sepertinya perbincangan kita menjadi sedikit lebih rumit. Kamu tahu, bahwa sekarang ini si layar tidak hanya milik sinema? Ia juga telah menjadi milik TV (video), dan sejak penemuan teknologi digital, ia juga menjadi milik komputer dan ponsel pintar. Ada jenis-jenis medium selain filem sekarang ini yang memungkinkan ditampilkannya visual tanpa proyeksi. Begitu pula yang dialami si bingkai. Saat ini ia tak hanya dipajang di dinding, tapi juga di “dinding-dinding” dunia virtual di mana seluruh massa pengguna internet saling terhubung. Menyinggung tahap proses penciptaannya, perbedaan antara citra (image) dan gambar (picture) pun menjadi semakin kabur. Teknologi digital telah memungkinkan orang untuk membuat visual tanpa bergantung pada cahaya. Buktinya, kamu bisa membuat gambar-gambar vector melalui komputer. Lantas, semua visual yang ada sekarang ini, seolah-olah berbondong-bondong melebur ke dalam layar—layar perangkat komputer. Si bingkai, pada akhirnya, telah ditelan si layar dan keduanya menjadi dua sisi sekeping mata uang logam.

Aku rasa, perkembangan teknologi yang memunculkan banyak jenis medium baru tersebut, telah membuat teori gaya “sentripetal-sentrifugal” harus dipahami lebih kontekstual. Terkait fenomena media sosial, misalnya, instagram adalah arena pajang-memajang yang bukan hanya mengganti dinding dunia riil dengan “dinding” dunia virtual, tetapi juga arena di mana bingkai dan layar telah bergabung menjadi satu ruang penyajian yang sama. Selain itu, teknologi internet yang melekat pada instagram juga membuat citra (image) dan gambar (picture)—atau singkatnya, visual—yang kita lihat itu sebagai entitas yang padanya “dunia representasi” dan “dunia virtual” saling berhimpit, dan bahkan seakan sulit untuk dibedakan.

Demikianlah, kutipan Bazin yang ada di dalam tulisan kawan kita itu, dalam beberapa hari ini membuatku gusar, dan sekali lagi mendorongku untuk memikirkan apakah pemahaman kita selama ini tentang medium itu sudah tepat atau belum sama sekali? Aku bukan sedang ingin mengajakmu turut gusar, tetapi ingin memberitahumu bahwa saat bermain instagram, aku, kamu, dan orang-orang lain, sesungguhnya sedang berinteraksi dengan dua hal, yakni bingkai dan layar, serta dengan tiga dunia, yakni dunia riil, dunia representasi, dan dunia virtual.

Betapa menakjubkannya, dan betapa serunya bermain media sosial (terutama instagram ini). Dengannya, berbagai tempat dan penglihatan (vision) orang-orang seakan sedang terhubung. Melalui instagrammu, aku yang sedang berada di Jakarta, dapat melihat Parungkuda secara berbeda dibandingkan saat aku benar-benar berada di sana. Tapi, sementara ini kamu tidak bisa melihat Jakarta dengan pengalaman yang sama melalui instagramku, karena akun tooftolenk belum memajang satu pun karya visual di dinding virtualnya. Hahaha! Hari ini, aku tertarik dengan karya-karya instagrammu yang “memotong” sebagian dunia yang ada di dalam rumahmu. Menarik!

Jakarta, 28 Juli, 2015
Manshur Zikri (tulisan)
Dian Komala (foto)

Tinggalkan komentar