bingkai dan layar, serta tiga dunia

Ageung, beberapa hari yang lalu, aku menyunting tulisan seorang kawan yang tinggal di Jakarta. Kamu tahu orangnya: pengamat filem, suka membaca buku, tetapi artikulasinya sering kali sulit dipahami. Bukan…! Kawan yang aku ceritakan itu bukan si aki-aki jahil—aku dan kamu juga tahu aki yang mana yang kumaksud—yang suka menyasarkan orang dengan petuah-petuah memukaunya. Tentu kamu tidak lupa dengan ruangan di atas perpustakaan, tempat kawan kita itu menghabiskan sebagian besar hari-harinya, membaca buku. Dan kamu juga tahu pasti, jika sudah mabuk, kawan kita ini bisa ngelantur sepanjang malam. Kamar itu kini sudah tidak ditempati oleh kawan kita. Dia sekarang pulang-pergi rumah-kantor, karena kantor tempat kami bekerja sudah berpindah tempat, sekitar lima belas menit jaraknya menggunakan angkot dari tempat yang dulu.

Berikut ini, kamu akan membaca tulisanku yang agak membingungkan. Akan tetapi, bacalah sesuai yang kamu pahami saja. Anggap saja ini adalah salah satu bentuk permainan komunikasi yang lain antara aku dan kamu.

Aku sejak dulu—walau memahami tulisannya sering membuatku kesal—mengagumi sudut pandang kawan kita itu dalam menilai karya filem. Terutama rujukan-rujukan yang digunakannya untuk menulis artikel kritik—ketahuilah, aku sering garuk-garuk kepala saat menyunting tulisannya dan harus memastikan nama penulis, judul buku, tahun, kota dan nama penerbit dari sumber yang dia kutip supaya cara penulisan sumber rujukannya menjadi baik—semuanya sangat menginspirasi. Aku belum punya kemampuan dan waktu seperti yang dia miliki untuk membaca buku-buku itu. Dalam tulisan-tulisannya, kawan kita ini piawai mengutip sebaris atau dua baris kalimat, atau mungkin separagraf, dari bahan yang dibacanya, lalu meletakkannya sebagai kuncian untuk memaparkan lebih jauh sudut penilaiannya. Aku tidak tahu, apakah pemandangan di dalam kamarnya di rumah, sekarang ini, sama seperti dengan kamar di atas perpustakaan kita yang dulu? Banyak buku-buku yang terbuka dan terlipat beberapa halamannya, dan beraroma tubuh laki-laki yang jarang mandi?

Pada tulisannya yang aku sunting beberapa hari lalu itu, dia mengutip pernyataan Bazin, yakni tentang perbedaan antara garis pinggir pada bingkai (atau frame) dan garis pinggir pada layar sinema (yang dihadapi penonton di dalam ruang gelap). Menurut teoretikus yang dikutip kawan kita ini, garis pinggir layar bukanlah bingkai dari citra filem (film image). Sebab, bingkai memiliki daya gaya sentripetal, sedangkan layar [sinema] memiliki daya gaya sentrifugal. Aku yakin kamu pasti tidak ingat dua gaya yang dimaksud Bazin itu. Hahaha! Aku juga tidak mengerti banyak tentang hal itu. Setelah kucari lebih jauh keterangan mengenai ini—dan karenanya aku menjadi ingat—dua istilah gaya itu ternyata merujuk pada ilmu fisika.

Menurut salah satu teori yang berhubungan dengan “gerak”, dua gaya itulah yang membuat benda bisa bergerak melingkar. Gaya sentripetal adalah gaya yang tarikannya menuju pusat lingkaran. Jika kita membayangkan sebuah lingkaran, benda yang bergerak pada orbit (atau garis tepi lingkaran itu) sesungguhnya mengalami tarikan menuju ke pusat. Wikipedia menyebut salah satu contoh dari gaya ini adalah gaya gravitasi. Sementara itu, gaya sentrifugal adalah lawannya, yakni gaya semu yang tarikannya menjauhi pusat lingkaran. Contohnya, jika kita menaiki wahana ontang-anting di Dufan, kita merasa seakan terlempar (dengan kata lain, kita merasakan adanya gaya yang seolah-olah menjauhi titik pusat dari ontang-anting itu). Gaya sentripetal yang mengarah ke dalam, dan gaya sentrifugal yang mengarah ke luar, dalam suatu gerak melingkar ini, membuat benda bergerak menjadi stabil.

Kita tidak usah berpanjang-panjang cerita soal dua gaya dalam ilmu fisika itu. Intinya, analogi yang digunakan Bazin itu menunjukkan perbedaan sifat dasar antara bingkai dan layar. Kawan kita, dalam tulisannya, menyebutkan bahwa yang dimaksud bingkai (frame) oleh Bazin itu, contohnya adalah lukisan yang terpajang di dinding—foto yang terpajang di dinding, mungkin, bisa menjadi contohnya juga.

Menurut pemahamanku saat ini—bisa jadi masih keliru, dan semoga nantinya aku bisa lebih mengerti lagi—gaya sentripetal atau “arah ke dalam” pada lukisan berarti bahwa “tegangan” visualnya ada di dalam bingkainya. Sementara itu, gaya sentrifugal atau “arah ke luar” pada layar berarti bahwa “tegangan” visualnya memiliki hubungan dengan dunia riil yang ada di semesta yang kita tempati ini. Mengapa demikian? Menurutku, ini mungkin berhubungan dengan jenis medium, sikap (attitude), dan proses berkarya, serta bentuk/cara penyajian karya yang dipilih si seniman (antara pelukis dan sutradara) dalam menciptakan “dunia representasi”. Sederhananya, medium dari citra bergerak (moving image) adalah kamera (filem), sedangkan lukisan adalah kanvas, kuas dan cat. Pelukis membuat “dunia representasi” (jika kamu bingung dengan istilah ini, cukup dipahami saja, bahwa “dunia representasi” adalah “dunia imajinasi” yang kita terima karena melihat visual pada lukisan atau layar sinema) melalui tangannya dengan cara melukis. Pelukis menuangkan tafsirannya secara baru di atas kanvas. Sementara itu, kameraman membuat “dunia representasi” melalui tangkapan kamera (ada aksi “jepret” dan “proses merekam”). Sementara pelukis “menuangkan” imajinasinya ke dalam sebuah bingkai lantas meletakkan (memajang)-nya di dinding, kameraman justru seakan “memotong” sebagian dunia riil kita dan memerangkapnya ke dalam bingkai lensa kamera, lalu diproses dalam editing, dan diproyeksikan ke layar tontonan (layar sinema). Dengan kata lain, visual yang kita lihat di layar sinema adalah “bagian” dari dunia riil kita meskipun ia sudah menjadi “dunia representasi” yang berbeda. Dalam pemahamanku ini, pelukis, sepertinya, tidak “memotong” dunia riil kita, tetapi “menciptakan” (mungkin, istilah Bahasa Inggrisnya adalah “to invent”). Sedangkan kameraman, dia “menangkap” sebagian dunia riil kita menggunakan kamera (dan mungkin istilah Bahasa Inggrisnya adalah “to capture”). Pada aksi yang dilakukan oleh kameraman, ada juga sisi “mencipta” (“to invent”)-nya, tetapi mungkin lebih berupa ide dan perspektif.

Pada fotografi, kita tahu bahwa seorang fotografer juga melakukan aksi “jepret”. Fotografer juga “memotong” sebagian dunia riil, seperti halnya yang dilakukan oleh pembuat filem. Akan tetapi, dalam tahap penyajiannya, foto tidak ditampilkan melalui layar, melainkan tetap sebagai bingkai citra (frame of image). Dengan kata lain, persoalan antara bingkai dan layar ini, pokok perbedaannya memang sangat terasa jelas dalam hal bagaimana sebuah karya visual itu disajikan ke hadapan orang-orang. Agaknya, dalam hal ini, sebelumnya kita perlu sedikit menekankan perbedaan antara citra (image) dan gambar (picture) meskipun orang-orang sering menganggapnya sama. Menurutku, proses penciptaan image oleh kamera adalah proses optikal (maksudku, perangkat optik; ada lensa) yang bergantung pada kontribusi cahaya. Aktivitas menggambar untuk membuat gambar (seperti menggores kertas, menyapu kuas di kanvas, mencukil kayu, memahat batu) tidak bergantung pada kontribusi cahaya. Sebab, kamera pada dasarnya bekerja dengan menangkap cahaya (atau, membekukan cahaya). Fotografi dan filem menjadi berbeda dalam hal penyajiannya, karena filem tetap bergantung pada kontribusi cahaya saat hendak ditampilkan, yakni proyeksi ke layar. Sementara itu, fotografi tidak begitu. Image foto tampil di dalam bingkai (bukan melalui proyeksi).

Itu perbedaan antara bingkai dan layar.

Ageung, sepertinya perbincangan kita menjadi sedikit lebih rumit. Kamu tahu, bahwa sekarang ini si layar tidak hanya milik sinema? Ia juga telah menjadi milik TV (video), dan sejak penemuan teknologi digital, ia juga menjadi milik komputer dan ponsel pintar. Ada jenis-jenis medium selain filem sekarang ini yang memungkinkan ditampilkannya visual tanpa proyeksi. Begitu pula yang dialami si bingkai. Saat ini ia tak hanya dipajang di dinding, tapi juga di “dinding-dinding” dunia virtual di mana seluruh massa pengguna internet saling terhubung. Menyinggung tahap proses penciptaannya, perbedaan antara citra (image) dan gambar (picture) pun menjadi semakin kabur. Teknologi digital telah memungkinkan orang untuk membuat visual tanpa bergantung pada cahaya. Buktinya, kamu bisa membuat gambar-gambar vector melalui komputer. Lantas, semua visual yang ada sekarang ini, seolah-olah berbondong-bondong melebur ke dalam layar—layar perangkat komputer. Si bingkai, pada akhirnya, telah ditelan si layar dan keduanya menjadi dua sisi sekeping mata uang logam.

Aku rasa, perkembangan teknologi yang memunculkan banyak jenis medium baru tersebut, telah membuat teori gaya “sentripetal-sentrifugal” harus dipahami lebih kontekstual. Terkait fenomena media sosial, misalnya, instagram adalah arena pajang-memajang yang bukan hanya mengganti dinding dunia riil dengan “dinding” dunia virtual, tetapi juga arena di mana bingkai dan layar telah bergabung menjadi satu ruang penyajian yang sama. Selain itu, teknologi internet yang melekat pada instagram juga membuat citra (image) dan gambar (picture)—atau singkatnya, visual—yang kita lihat itu sebagai entitas yang padanya “dunia representasi” dan “dunia virtual” saling berhimpit, dan bahkan seakan sulit untuk dibedakan.

Demikianlah, kutipan Bazin yang ada di dalam tulisan kawan kita itu, dalam beberapa hari ini membuatku gusar, dan sekali lagi mendorongku untuk memikirkan apakah pemahaman kita selama ini tentang medium itu sudah tepat atau belum sama sekali? Aku bukan sedang ingin mengajakmu turut gusar, tetapi ingin memberitahumu bahwa saat bermain instagram, aku, kamu, dan orang-orang lain, sesungguhnya sedang berinteraksi dengan dua hal, yakni bingkai dan layar, serta dengan tiga dunia, yakni dunia riil, dunia representasi, dan dunia virtual.

Betapa menakjubkannya, dan betapa serunya bermain media sosial (terutama instagram ini). Dengannya, berbagai tempat dan penglihatan (vision) orang-orang seakan sedang terhubung. Melalui instagrammu, aku yang sedang berada di Jakarta, dapat melihat Parungkuda secara berbeda dibandingkan saat aku benar-benar berada di sana. Tapi, sementara ini kamu tidak bisa melihat Jakarta dengan pengalaman yang sama melalui instagramku, karena akun tooftolenk belum memajang satu pun karya visual di dinding virtualnya. Hahaha! Hari ini, aku tertarik dengan karya-karya instagrammu yang “memotong” sebagian dunia yang ada di dalam rumahmu. Menarik!

Jakarta, 28 Juli, 2015
Manshur Zikri (tulisan)
Dian Komala (foto)

Ibu Bawel

“Sakitnya tuh di sini, di dalam hati…” penggalan lagu dangdut terdengar dari telepon genggamnya, tanda panggilan dari seseorang. Si pemilik telepon mendiamkannya saja. Sudah lima panggilan, sengaja tak dijawab olehnya. Dering telepon membuatnya teringat akan hutang piutang di kampungnya. Si penelepon adalah seorang rentenir terkenal di kampung itu.

Warung nasi yang sedang ia kelola dibangun dari modal pinjaman. Rentenir itu adalah salah satu penolongnya pada waktu memulai usaha. Penolong dengan rangkaian bunga yang semakin menggunung. Belum lagi hutang-hutang yang lalu. Hmm…! Semuanya harus dilunasi segera dengan hasil jualan ini. Sebagian hutangnya ia emban sendiri, tak tega membebani anak-anaknya.

“Bu, makan! Pakai kentang dan ayam goreng, ya! Jangan lupa sambalnya!”

Lamunannya tersentak. Bergegas dia mengambil piring dan menuangkan satu per satu pesanan pembelinya.

“Eh, si Aa! Sehat, A?” tanyanya kepada langgananya.

“Alhamdulillah, sehat, Bu. Makin ramai, ya, warungnya?” jawab pelanggan itu sambil mengunyah makanannya.

“Kemana aja, A? Sudah lama tidak kelihatan. Kemarin, Ibu lihat temannya itu, si Damar.”

“Saya kemarin niatnya mau pulang kampung, eh di sana saya sakit. Baru seminggu yang lalu saya sehat. Makanya saya ke sini. Mau jual motor, hahaha! Butuh dana untuk biaya berobat kemarin,” keluh si pelanggan.

“Motor apa emangnya? Berapa maunya? Surat-suratnya lengkap?” tanyanya. Ada juga orang yang bisa diajak berbincang hari itu.

Beat, Bu. Lengkap, kok! Maunya, sih tiga juta. Ibu mau?” si pelanggan menjadi lebih bersemangat.

“Dua setengah, deh? Anak saya lagi merengek ingin motor.”

“Saya kabarin nanti, ya, Bu. Soalnya saya lagi perlu uangnya segitu.”

“Ya, udah! Kabarin ya, A!”

Si Ibu masuk ke dalam ruangan sempit di dalam warungnya. Di sana ada tempat tidur, kipas angin dan televisi. Berjalan menuju tas yang menggantung di dinding. Dibukanya tas itu. Tiga gepok uang berjumlah tiga juta tersimpan rapi di sana. Pada awalnya, uang itu akan ia gunakan untuk membayar cicilan kepada si penelepon tadi. Tapi niatnya tergoyang. Pikirannya mengawang membayangkan anak bungsunya berseragam sekolah mengendarai motor. Dilema.

Dia kembali ke warungnya menemui si pelanggan tadi. “Cepet kabarin, ya, A!” pintanya.

“Iya, Bu. Berapa semuanya?”

Setelah membayar, si pelanggan pergi meninggalkan warung, entah kemana. Si Ibu masih dalam dilema. Diraihnya telepon genggam mencari nomor kontak telepon. Ia akhirnya menelepon si penelepon yang sedari tadi tak kunjung ia jawab. Setelah berbasa-basi singkat, ia pun mengutarakan niatnya.

“Gini, Tante…, saya belum ada uang untuk bayar bulan ini. Bulan depan, ya, Bu, sekaligus bunganya!”

Di dalam percakapan melalui telepon itu, terjadi perdebatan yang cukup lama. Si Tante menyebutkan resiko-resiko yang harus ditanggung si Ibu. Bunga sebesar dua puluh persen dari sepuluh juta yang si Ibu pinjam. Bunga itu harus selalu ia bayar setiap bulannya, bila sepuluh juta itu belum ia lunasi.

“Iya, Bu! Di perjanjian awalnya begitu, saya mengerti. Itulah resiko yang harus saya bayar. Uang yang saya kumpulkan untuk membayar bunganya terpakai untuk biaya rumah sakit anak saya. Saya benar-benar minta maaf. Lagi pula, ini baru bulan kedua, bukan? Saya janji bulan depan pasti saya bayar bunga dan cicilan sepuluh jutanya.”

Si Tante tidak bisa berbuat apa-apa.

***

Hari ini adalah Hari Rabu. Sudah menjadi tugasnya untuk hadir setiap Hari Rabu. Bertemu dengan anak-anaknya dan ibu-ibu “grup berjanji”-nya. Hari ini, senyumnya merekah. Orang-orang di rumahnya pasti akan terkejut dengan kedatangannya, pikirnya. Ditemani dengan seorang kawan, ia mengendarai sepeda motor yang baru dibelinya. Anak-anaknya tersenyum ketika melihatnya turun dari  motor itu. Terutama si Bungsu, yang tersenyum lebih lebar dari yang lainnya.

Parungkuda, 23 Desember, 2014
Dian Ageung Komala

Ibu Tukang Pijit

Ilustrasi-ibu-tukang-pijit_Dariwarga_17-12-2014-Dian-Komala

Hari yang cerah di tengah-tengah seringnya hujan turun beberapa bulan ini. Matahari terang benderang membuat butir-butir keringat terjun langsung dari pipi ke lehernya. Terkantuk-kantuk, di tangannya masih ada jarum dan sehelai kain. Menyulam adalah pekerjaan hariannya. Berbagai macam sulaman ia kerjakan. Bahan sulaman ini datang dari sebuah agen pabrik garmen. Untuk satu helai kain, tak tentu harganya, tergantung dari kemudahan dan waktu pengerjaan. Sulaman yang sedang ia kerjakan bernilai tujuh ratus lima puluh rupiah per helai. Lama waktu pengerjaannya sekitar dua puluh menit. Ya, apalah daya!? Hanya itu yang bisa ia kerjakan sembari menunggu panggilan memijit dari orang lain.

Dulu, ia adalah seorang dukun beranak. Tapi sekarang, dukun beranak sudah tidak boleh beroperasi di wilayah Parungkuda. Meskipun begitu, ada satu-dua orang yang masih memakai jasanya untuk melahirkan. Ilegal? Sepertinya tidak. Dulu pun, sebelum ada dokter kandungan dan bidan, dukun beranak adalah satu-satunya pilihan. Sampai saat ini, dia tidak pernah gagal dalam melaksanakan tugasnya sebagai dukun beranak. Namun, tak semua orang mengandalkannya, yang lain lebih memilih puskesmas dekat rumah yang memiliki fasilitas dua puluh empat jam untuk melahirkan. Jadi, menyulamlah satu-satunya pilihan, sembari menunggu panggilan memijit. Banyak orang di kampung Parungkuda menjadi langganan pijitannya. Tapi tentu saja tidak setiap hari panggilan itu datang.

Rokok kreteknya sudah hampir habis dimakan bara, matanya masih saja terpejam.

“Assalamualaikum…!” sapa seseorang di depan pintu rumahnya.

“Tak ada uang hari ini. Doakan hari ini gajian sulam keluar!” jawabnya tersentak, kaget karena sapaan seorang tukang kredit baju.

“Beneran, ya, Mak! Soalnya kemarin pun tidak bayar,” si Tukang Kredit pergi menjauh ke rumah yang lain, yang merupakan pelanggan baju kredit juga.

Matanya kembali menuju jarum dan kain yang masih ada di tangannya. “Sudah ashar, baru dapat lima belas?!” keluhnya.

Dengan cekatan, dia memasukan manik-manik berbentuk piring kecil dan memasangkannya ke kain, tepat seperti permintaan agen. Di luar, terlihat sesosok pria yang sangat ia kenal. Suaminya baru pulang dari rombongan pariwisata ibu-ibu ziarah. “Lumayan untuk bayar nanti sore,” gumamnya.

Suaminya seorang kondektur bus pariwisata. Bayaran dari pekerjaan ini pun tidak dapat memenuhi kebutuhan sehari-hari keluarga mereka. Bayarannya lumayan, tetapi panggilan pariwisata itu juga tak datang di setiap minggu. Kadang, bisa sampai sebulan lamanya, panggilan ibu-ibu untuk berlibur berziarah ke makam-makam wali di luar kota tak kunjung datang. Mereka masih punya tanggung jawab agar si bungsu dapat lulus sekolah menengah kejuruan: harapan terakhir untuk memperbaiki perekenomian keluarga.

“Assalamualaikum, Mak!” sosok pria paruh baya berjaket kulit dan buku di tangan datang.

“Sebentar, ya, Aa!” jawabnya sambil berjalan menuju kamar, tempat suaminya berada. Tak lama, dia kembali menuju pria itu dengan lembaran-lembaran uang di tangan. “Nih, A!”

Pria itu menerima uang sebesar tiga puluh lima ribu rupiah. Mencatat di buku dan menyobek kertas bernomor tiga belas. Kertas sobekan itu dia berikan kepada si Ibu.

“Wih, sudah tiga belas! Bisa dibarukan dong?! Butuh untuk bayar anak sekolah, nih, A! Lima ratus saja, bisa?” tanya si Ibu

“Saya tanya sama si Bos dulu, ya, Mak! Soalnya, Mak, sempat bolong-bolong angsurannya,” jawab si pria.

“Oke, deh…! Tapi diusahakan, ya…!”

“Saya permisi dulu. Assalamualaikum!”

“Waalaikum salam!”

Si pria itu pergi dengan sepeda motornya. Si Ibu lalu bergegas menuju dapur, membuat secangkir kopi hitam untuk sang suami. Beberapa menit kemudian, ia kembali tenggelam dalam sulamannya.

Sekarang panas terik sudah tertutup awan-awan mendung. Ia harus segera menyetorkan sulaman ini, sebelum hujan turun. Melipat satu per satu kain yang telah selesai disulam; dua puluh helai kain telah selesai ia kerjaan. “Tak apa hari ini cuma dapat dua puluh…,” ujarnya pada diri sendiri.

Kemudian ia memasukkan kain-kain itu ke dalam kantong plastik besar berwarna merah. Menggendongnya di punggung, dan berjalanlah ia sambil bersenandung lagu dangdut dari penyanyi kondang Rita Sugiarto, “Cantik memang aku akui. Usia muda pun ia miliki……….. Baju baru kau sayang-sayang. Kain lapuk kau buang-buang…..!

Harapan satu-satunya ketika ia kembali dari mengantar sulaman adalah uang upahnya yang dapat ia bawa esok hari untuk membayar janji yang telah ia sepakati bersama ibu-ibu tetangganya.

Parungkuda, 16 Desember, 2014
Dian Ageung Komala

Jeda Sebelum Janji

Ruangan itu penuh oleh ibu-ibu. Yang seorang, mengenakan cadar, menjajakan dagangannya: selendang-selendang bermotif warna-warni. Delapan orang ibu mengerumunginya sedangkan ibu-ibu lainnya asik dengan obrolan mereka masing-masing, obrolan terfenomenal se-Parungkuda kala itu.

Jam dinding sudah menunjukkan pukul 11.20 WIB. Waktu pertemuan yang disepakati sudah lewat lima menit dan petugas belum juga datang.

“Di luar hujan, mungkin mereka sedang berteduh,” ucap salah satu ibu.

Hari itu adalah Hari Rabu. Hari bagi mereka untuk harus mengucapkan “janji kebersamaan” antartetangga. Janji yang harus mereka ulang di setiap Hari Rabu. Janji yang sudah ada di luar kepala. Sudah bosan rasanya harus mengulang janji itu terus. Sudah merasa terkekang akan semua janji itu. Di setiap Hari Rabu, mereka harus menyisihkan waktu untuk berjanji. Meninggalkan pekerjaan rumah dan menitipkan anak-anaknya ke orang lain, barang satu atau dua jam. Mereka harus melakukannya demi sebuah “upacara berjanji”.

“Bu, yang ini berapa?” tanya seorang Ibu Tukang Pijit, menyodorkan selendang berwarna ungu dan hitam kepada Ibu Bercadar.

“Dua limaan, Bu!” jawabnya.

Si Ibu Tukang Pijit kembali tenggelam pada selendang-selendang itu sambil sesekali bertanya tentang harga-harga yang lainnya.

“Dua minggu, kan, Bu?” tanyanya kembali.

“Iya, dua kali bayar! Rabu depan dan Rabu depannya lagi.”

Kesepakatan sudah terjalin. Si Ibu Tukang Pijit mengambil selendang pilihannya yang pertama.

Ibu-ibu yang lain sedang asik mendebatkan soal Bantuan Langsung Sementara Masyarakat (BLSM). Ibu Bawel adalah satu-satunya orang yang mendapatkan dana itu di kampung mereka. Padahal, Ibu Bawel ini memiliki warung di Cisaat. Dia rela berangkat subuh-subuh dari Cisaat menuju Kantor Kecamatan Parungkuda untuk mengambil haknya. Biasanya, dia pulang ke rumah hanya seminggu sekali untuk sebuah janji.

Ada satu orang ibu yang tidak terikat dengan janji kebersamaan. Dia ada di ruangan itu hanya karena itu rumah kakak kandungnya, si Ibu Bawel. Untuk sekedar melepas rindu satu sama lain karena sudah seminggu tidak bertemu, ia pun ikut nimbrung dengan Ibu Bawel dan empat ibu lainnya. Turut pula memperbincangkan ketidakadilan BLSM. Dia protes, pembagian BLSM tersebut tidak adil.

“Di RT kita, kan masih banyak sekali ibu-ibu yang sudah renta, seperti Emak Nonok, Emak Titin dan Emak Mainah. Kenapa di sini cuma kamu yang dapat?” katanya, menunjuk kepada kakaknya.

“Ya…, saya tidak tahu. Saya pun dapatnya bukan dari RT kita ini. RT sebelah yang memilih saya. Karena RT kita tidak pernah tergerak hatinya untuk masalah seperti ini. Dia sibuk dengan sawah-sawahnya,” jawab si Ibu Bawel, tak mau tahu.

“Lalu, apa tugasnya dia sebagai RT? Kita ganti saja RT-nya!” usul ibu lainnya. Mereka pun terus mengusulkan beberapa nama untuk menggantikan RT yang saat itu sedang menjabat. Nama-nama bermunculan dibarengi kriteria dan keahlian masing-masing. Suami dari Ibu Bercadar-lah yang sering mereka sebut namanya.

Adik dari Ibu Bawel kembali mengeluarkan suaranya, “Mau saya dapat atau tidak BLSM itu, saya benar-benar tidak setuju uang dibagi-bagikan seperti itu. Mending kalau tepat sasaran. Ini, saya lihat di televisi, yang pakai emas dan bersepeda motor, ikut mengantri. Malah, di televisi itu, yang difilemkannya leher berkalung, tangan bergelang, telinga beranting, jari bercincin dan parkiran sepeda motor yang penuh. Bukankah lebih baik uang itu justru dimasukkan untuk dana pendidikan dan kesehatan?”

Ibu-ibu yang lain mengangguk-angguk, tanda setuju.

“Seperti misalnya kamu, lihat kalungmu itu, cukup besar, bukan!? Dan statusmu bukan lagi seorang janda, bukan?” sekali lagi si adik menunjuk-nunjuk kakaknya sendiri. “Kekesalan ini ada bukan karena saya tidak terpilih mendapatkan dana itu. Bukan sama sekali. Saya merasa keluarga kami cukup mampu meskipun suami saya hanyalah seorang satpam di sebuah hotel. Dan saya bisa menutupi kekurangan suami dengan berjualan kue meskipun pesanannya tidak ada di setiap minggunya. Saya meresa itu lebih dari cukup. Tapi yang saya khawatirkan adalah ibu-ibu seperti Emak Nonok, Emak Titin, Emak Mainah dan Emak-emak lainnya di kampung ini. Seperti kemarin, saya lihat di berita, seorang nenek mengantri dari pagi hingga sore dan ternyata dia tidak termasuk ke dalam orang-orang yang berhak mendapatkan dana itu.”

Ibu yang lain menyela, “Bukankah presiden kita yang baru ini akan mengubah semua kucuran dana itu ke dana pendidikan dan kesehatan?”

“Iya, tapi tetap saja, kalau dengan data yang ada sekarang ini! Semuanya tidak akan berubah. Untuk berubah pun, membutuhkan proses. Tapi kapan?!” keluh dari adik Ibu Bawel. Semua yang lain menanggapi dengan diam.

Si Ibu Tukang Pijit menghampiri mereka, lalu berkata, “Seharusnya saya dapat, tuh!” dan disambut tawa terkekeh-kekeh oleh ibu-ibu di ruangan itu. Mereka kembali diam karena petugas yang ditunggu-tunggu akhirnya datang juga.

Mereka berbaris rapi, seperti anak sekolah yang akan melaksanakan apel pagi. Mereka lalu mengucapkan janji dengan lantang secara bersamaan: “Janji mitra usaha, hadir tepat waktu, setoran setiap minggu, usaha disetujui teman, hasil usaha untuk keluarga, bertanggungjawab bersama dan mau nalangin teman yang macet.”

Parungkuda, 14 Desember, 2014
Dian Ageung Komala

Catatan Diana 23-27 Juni 2014

20140628_124553

23 Juni, 2014.

Pukul 06:30, matahari masih enggan memberikan kehangatan kepada kami yang harus berangkat pagi untuk bekerja. Pagi itu, sama seperti pagi-pagi kemarin. Rutinitasnya selalu macet di jalan tempat kami menyeberang untuk sampai ke sebuah pabrik garmen, saking banyaknya karyawan dan juga orang-orang yang melalui jalur utama itu.

20140628_063259

20140628_063303

20140628_063331

Walaupun seharusnya jam kerja di pabrik itu—pabrik yang berada di Jalan Parungkuda, di lokasi yang dikenal oleh orang-orang sebagai Palagan—adalah 07:30 – 15:30 WIB, tetapi para karyawan sudah datang pada jam 06:15 dan mulai bekerja pada pukul 06:50. Kebiasaan datang lebih awal itu, oleh Si Pabrik, biasa disebut sebagai bukti tanggung jawab karyawan karena terkadang setiap satu jalur proses produksi (kami biasa menyebutnya dengan istilah line) gagal mendapat target yang harus dicapai di hari sebelumnya. Oleh karena itu, keesokannya, mereka dituntut untuk datang pagi supaya bisa membayar hutang target kemarin, dan itulah yang disebut hak dan kewajiban karyawan.

20140627_093521

Seperti biasa, saya datang paling awal ke ruangan karena sayalah karyawan yang diberi kepercayaan untuk memegang kunci ruangan. Ruangan itu disebut ruangan Gudang Aksesoris (atau disebut juga bagian Acc). Di dalamnya, berisi barang-barang penunjang, seperti sewing thread, label, button, zipper, elastic, satin tape, dan lain-lain sesuai kebutuhan produksi baju tersebut.

20140625_131133

20140626_105708

20140626_150714

Karyawan yang bertugas di ruangan itu berjumlah delapan orang, yaitu Teh Rita, Puji, Neng, Lusi, Gita, Fio, Hana dan saya sendiri. Kami mempunyai tanggung jawab masing-masing. Pekerjaan kami sehari-hari adalah mengambil barang dari gudang utama, lalu menghitungnya untuk mengetahui jumlah aktual dari barang yang datang, apakah sesuai dengan keterangan di surat jalan atau tidak.

Sesuai tanggung jawab masing-masing, setiap hari, kami bisa menghitung puluhan ribu barang dari masing-masing jenisnya. Dari situ, kami bisa mengirimkannya ke bagian produksi yang menjahit baju (bagian sewing), sesuai bon atau jumlah potongan yang datang dari bagian pemotongan kain (bagian cutting).

20140625_065023

20140625_125213

20140626_105751

20140626_105814

20140626_151437

Banyak orang-orang di pabrik garmen mengatakan kalau Gudang Aksesoris itu adalah surganya garmen. Bagi saya sendiri, pekerjaan ini gampang-gampang susah. Mungkin di luar sana, menurut karyawan yang ada di bagian-bagian yang lain, pekerjaan kamiitu tidak susah. Justru, bisa dibilang mereka iri dengan kami karena pekerjaan kami di gudang tidak dikenakan target. Akan tetapi, permainan otak justru diharuskan untuk berjalan di saat balance actual (kesesuaian jumlah) barang tidak sesuai, misalnya jumlahnya lebih sedikit dari keterangan yang tertera di surat jalan. Belum lagi jika ada material yang hilang saat di bagian produksi, di bagian sewing. Atau material yang dibutuhkan packing, seperti label, yang masih banyak ganti-ganti size disaat barang akan diekspor. Sedangkan, terkadang datangnya jumlah material itu cuma pas untuk quantity order (jumlah pesanan). Tidak jarang juga, kami yang ada di Gudang Aksesoris terlibat debat dengan bagian produksi dan marketing gara-gara hilangnya barang.

24 Juni, 2014

Seperti biasa, kami, para karyawan, mulai bekerja pukul 06:50 WIB. Setiap Hari Selasa, masing-masing bagian di pabrik melakukan meeting yang rutin secara mingguan. Isi meeting itu tidak jauh dari pembicaraan mengenai target dan kualitas pakaian. Sampai-sampai, saya juga mungkin sudah bosan mendengarnya. Akan tetapi, rutinitas meeting tidak berlaku di ruangan saya. Kami jarang melakukan meeting karena hanya berdelapan orang sehingga supervisor tidak perlu menceramahi kami dengan teriak-teriak. Yang penting baginya, itu kerjaan beres dan ke-handle.

20140626_174919

20140628_123319

25 Juni, 2014.

Hari ini, pekerjaan gak begitu banyak karena material yang lain belum pada dateng dari supplier. Sekitar pukul 13:45, tiba-tiba lampu padam sehingga gedung saya memakai ganset sebagai sumber listrik. Namun ternyata, ganset pun tidak kuat. Hingga pukul 14:30, akhirnya semua karyawan yang bekerja di gedung itu dipulangkan. Al-hasil, ngutang satu jam karena waktu produktif yang harusnya tujuh jam hanya terpakai enam jam kerja.

20140628_123856

Ngomong-ngomong, saya salut untuk para staf administrasibagian sewing di pabrik ini. Mereka semua perempuan kuat. Pekerjaannya bertumpuk. Dimulai dari loading-an, yaitu pengambilan fabric (kain) ke produksi sewing yang jumlahnya beratus-ratus pcs, mereka membawa fabric-fabric itu dengan mendorongnya menggunakan lori, sendirian. Belum lagi, mereka harus memperbaiki baju yang reject (rusak), membersihkan noda, kadang harus dicuci atau hanya sekedar disikat menggunakan sikat gigi.

20140624_164021

20140624_164851

Setahu saya, tugas seorang staf administrasi itu hanya menulis absen, menulis laporan mengenai capaian, dan mengurus administrasi karyawan di line (jalur produksi) yang mereka pegang. Akan tetapi, saya sendiri tidak tahu kenapa pekerjaan mereka lebih dari itu. Padahal, kalau dibandingkan dengan proporsi kerja mereka dengan karyawan di bagian helper, itu jauh sekali, tetapi dalam hal gaji, mereka sama. Hanya saja, staf administrasi ada great (semacam tunjangan prestasi jabatan) sebesar lima puluh ribu rupiah. Dan great itu, setiap tahunnya, menurun. Di pabrik tempat saya bekerja, great hanya diberikan pada bagian-bagian tertentu, yaitu bagian administrasi, operator sewing dan quality control.

20140625_113713

20140625_113737

IMG_20140624_162039

Saya sempat berbincang-bincang dengan teman saya yang jadi staf administrasi bagian sewing, sebut saja dia EA.

“Dulu aku punya temen yang kerja di PT lain, dan dia kaget dengan cara kerja di adm di sini. Di sana, adm itu dibagi-bagi. Jadi, hanya mengerjakan satu pekerjaan saja. Misalnya, ada adm loading, adm reject …” kata EA.

Saya tidak tahu mana yang benar, tetai berdasarkan yang saya dengar dari orang-orang, memang begitulah kenyataannya.

20140624_134406

20140624_162315

20140624_162818

20140625_124155

20140625_124209

26 Juni, 2014.

Ternyata masih, sama seperti kemarin, lampu di pabrik padam lagi. Dengar-dengar, penyebab mati lampu ini karena puting beliung di Cibadak. Hingga pukul 08:00, kami masih belum bekerja. Sesuai informasi, lampu akan nyala pada pukul 09:00, dan kalau tidak beres juga, mau tidak mau karyawan akan pulang. Dan itu, artinya kami semua akan punya hutang satu hari, alias tujuh jam kerja. Tapi, untungnya enggak. Walaupun ganset-nya nyala-mati-nyala-mati per dua puluh menit, dan semua karyawan di lima line dipulangkan jam 11:30, ganset masih tetap bisa bertahan sampai pukul 17:30 WIB.

Seharian itu, kami serasa diberi bonus akhir tahun. Karena setiap 20 menit nyala, kemudian lampu padam lagi dengan waktu yang lumayan lama, 10 menit. Kalau sudah begitu, Personalia akan berseru bercanda, “Saatnya istirahat sejenak…!”

20140625_113829

20140625_091043

Waktu istirahat itu pun dimanfaatkan oleh karyawan dengan mengobrol, ada juga yang sekedar tiduran sambil duduk (karena kalau selonjoran, itu tidak mungkin… Hehe…!), ada yang secara terang-terangan menggunakan handphone, dan masih banyak lagi kegiatan mereka (khususnya yang dilakuan oleh karyawan di bagian sewing selama lampu mati). Yang lebih menarik, ketika lampunya mati, mereka (karyawan sewing) selalu bersorak “Huuu…!”. Di balik keceriaan yang didapat saat mati lami, mereka semua juga kesal karena tetap dikejar tenggat waktu meskipun sarana pembangkit listriknya tidak menunjang.

20140626_175001

27 Juni, 2014.

Pukul 08:50 WIB, tiba-tiba ada yang menjerit di bagian produksi. Saya kira kesurupan, tapi ternyata sebuah kecelakaan kerja akibat kelalaian manusia itu sendiri (human accident). Jarinya terjahit, dan butuh waktu beberapa menit untuk mencabut jarum itu. Salah satu kecelakaan (tapi yang paling sering terjadi) yang seperti itu biasanya disebabkan kuku panjang dan kurang konsentrasi. Kecelakaan yang sering terjadi juga bisa disebabkan karena rambut panjang yang tidak diikat. Kenapa? Karena posisi mereka bekerja berbaris rapat berbanjar. Di belakang setiap tempat duduk karawan adalah mesin jahit otomatis. Tidak menutup kemungkinan, rambut yang tergurai itu masuk ke mesin jahit.

20140627_064305

20140628_063727

20140628_064238

Parungkuda, Juni 2014
Diana Kusmayanti Amsir

Warteg Bu Sri

Warteg Bu Sri (2014 | 7 Menit)
Dariwarga Weekly Video Project
Realisasi: Tooftolenk Manshur Zikri
Rekan Kreatif: Dian Ageung Komala & Muhammad Sibawaihi (Komunitas pasirputih)
Produksi: Dariwarga

Sinopsis: Saya teringat janji pada Ageung untuk membuat video mingguan. Kebetulan malam, 10 Mei, 2014, saya dan Siba (seorang aktivis media dari Komunitas pasirputih, dan pengelola Berajah Aksara) pergi ke sebuah warteg di kawasan Tanjung Barat. Warteg ini biasa saja, tapi entah mengapa di lidah kami terasa istimewa. Mumpung memori android masih ada, langsung saja saya meminta Siba untuk menjadi pembawa acara kuliner untuk video Dariwarga. #asyek

Pengamen Angkot

Pengamen Angkot (2014 | 3 Menit)
Dariwarga Weekly Video Project
Realisasi: Tooftolenk Manshur Zikri
Rekan Kreatif: Dian Ageung Komala
Produksi: Dariwarga

Sinopsis: Suatu sore di awal Bulan Mei, dalam perjalanan dari Jalan Margonda, Depok, menuju Tanjung Barat, Jakarta Selatan, menaiki Angkot No. 19 (warna merah), jurusan Depok – Kp. Rambutan, kami melihat pengamen. Rekam, dan mainkan!

Kereta Pangrango

Kereta Pangrango (2014 | 6 Menit)
Dariwarga Weekly Video Project
Realisasi: Tooftolenk Manshur Zikri
Rekan Kreatif: Dian Ageung Komala
Produksi: Dariwarga

Sinopsis: Suatu pagi di Bulan April, 2014, hiruk-pikuk orang-orang di Stasiun Paledang, Bogor, menanti kedatangan Kereta Pangrango yang akan menuju Sukabumi. Kamera merekam peristiwa massa itu hingga kereta berangkat meninggalkan Bogor.

Sehat ala Minyak Goreng

Sehat ala Minyak Goreng (2014 | 1 Menit)
Dariwarga Weekly Video Project
Realisasi: Dian Ageung Komala
Rekan Kreatif: Tooftolenk Manshur Zikri
Produksi: Dariwarga

Sinopsis: “Anda mau sehat? Minum minyak goreng!” Sebuah rekaman video parodi iklan yang diambil di Bandara. Merekam ibu yang sedang melakukan performen layaknya bintang iklan yang mempromosikan minuman sehat, tetapi botolnya tertera tulisan “minyak goreng” dan berisi kopi buatannya sendiri.